LAPORAN
PENGAMATAN PAWIWAHAN AGUNG GKR HAYU DAN KPH
NOTONEGORO DI KRATON YOGYAKARTA
Laporan
ini Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok Mata Kuliah Busana Jawa
Oleh:
1.
Nur Afif Wibowo 10205241065
2.
Ria
Warni 12205241029
3.
Fajar
Kurniawati 12205241031
4.
Widya
Cahyani 12205241035
5.
Galih
Imam Bazhari 12205241039
6.
Eddy
Santoso 12205241059
KELAS : A2
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAERAH
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Adat istiadat dan tradisi yang terdapat di suatu daerah
merupakan identitas dari daerah tersebut. Adat istiadat dan tradisi yang ada
biasanya berbeda-beda dalam setiap bagian kehidupannya. Tradisi dalam upacara pernikahan merupakan salah satu
tradisi yang berkembang di daerah. Penyelenggaraan upacara pernikahan sangat
beraneka ragam dan bervariasi di daerah daerah tertentu. Dari sekian banyaknya
daerah
yang memiliki kekhasan dalam penyelenggaraan tradisi pernikahan salah satunya adalah Daerah Istimewa
Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta
memiliki tradisi upacara pernikahan yang berbeda dengan daerah-daerah lainnya. Keraton Yogyakarta sebagai sentral tradisi dan budaya memunculkan tradisi
simbol-simbol
adat yang ada di
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Upacara pernikahan yang diselenggarakan
di keraton Yogyakarta tentu dilangsungkan dengan berbagai tahapan upacara di
dalamnya. Rangkaian upacara yang dilangsungkan
selama prosesi pernikahan pun sangat beragam dan sarat akan makna filosofis yang terkandung di dalam setiap prosesi yang
dilaksanakan.
Untuk itu, demi menjaga kelestarian budaya dan adat tradisi yang ada di
daerah-daerah, khususnya
di Daerah Istimewa Yogyakarta ini alangkah baiknya
jika kita mempelajari seluk-beluk yang berkenaan dengan tata upacara
pernikahan, khususnya
adat tradisi pernikahan yang
ada di
keraton Yogyakarta.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana tata urutan upacara pawiwahan
agung?
2.
Bagaimana tata busana yang digunakan
saat upacara pawiwahan agung?
3.
Bagaimana tata rias atau paes yang digunakan saat
upacara pawiwahan agung?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
RENTETAN
UPACARA PAWIWAHAN AGUNG KRATON YOGYAKARTA
1.
Sugengan: ‘Selametan’ ala Kraton
Yogyakarta
Sugengan atau
‘selametan’ dilaksanakan sebagai wujud doa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar
acara pernikahan esok berjalan lancar. Intinya ada tiga: memanjatkan puji
syukur, meminta keselamatan, dan memohon perlindungan.
Terdapat sebuah upacara
yang harus dilaksanakan sebelum acara pernikahan digelar yaitu upacara Sugengan. Sugengan
atau wilujengan juga disebut selametan. Selametan dalam
bahasa Indonesia berarti keselamatan. Ritual ini dilakukan dalam adat
masyarakat Jawa. Dalam hal ini, Sugengan dilaksanakan untuk memulai perayaan
besar pernikahan puteri ke-empat Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Sugengan untuk
pernikahan GKR Hayu dan KPH Notonegoro dilaksanakan pada Senin (16/9) pada
pukul 16.00 WIB di area Masjid Besar Kauman Yogyakarta, tepatnya di Pengulon.
Pengulon dalam bahasa Indonesia artinya penghulu. Sugengan dilaksanakan 35 hari
sebelum acara pernikahan dilaksanakan.
Sugengan dimaksudkan
untuk mengucapkan rasa syukur atas karunia Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada keluarga Sultan. Acara ini juga
sebagai wujud syukur untuk segala hasil bumi yang sudah diberikan Tuhan. Ucapan
syukur diaktualisasikan dengan ubarampe yang berasal dari
berbagai hasil bumi yang
melambangkan kesejahteraan.
Sugengan juga memiliki makna untuk
meminta keselamatan, khususnya untuk acara pernikahan yang akan digelar. Dengan adanya Sugengan ini,
diharapkan pelaksanaan
acara pernikahan akan
berjalan lancar seperti yang telah
diharapkan. Oleh karena itu, upacara Sugengan juga diiringi dengan
dibacanya doa keselamatan. Ubarampe yang disiapkan juga
mengandung makna dan menjadi wujud doa kepada Tuhan yang Maha Esa.
Semua ubarampe yang
disajikan ketika Sugengan ini memiliki makna, semisal tumpeng (nasi yang
dibentuk menyerupai kerucut) memiliki makna ketuhanan, lalu nasi gurih (sekul
suci) adalah perwujudan dari pembersihan diri, dan ketan memiliki makna agar
semoga dosa-dosa dapat diampuni oleh Tuhan.
Upacara ini dilakukan
bersama Abdi Dalem Punakawan Kaji dan Abdi Dalem yang lain. Abdi Dalem
Punakawan Kaji adalah Abdi Dalem yang sudah berstatus haji dan biasanya
dilibatkan untuk upacara-upacara keagamaan. Jumlahnya secara resmi ada 12 orang
sehingga dinamakan Kaji Selusin. Namun, tidak semua Kaji Selusin diharuskan
untuk hadir. Selain Abdi Dalem Punakawan Kaji, ada juga Abdi Dalem lainnya yang
bertugas untuk membantu menyiapkan dan menata ubarampe sesaji.
2. NYEKAR
GKR Hayu &
KPH Notonegoro melaksanakan kegiatan Nyekar di dua tempat, yakni Pemakaman
Raja-Raja Mataram di Kotagede & Pemakaman Raja-Raja Yogyakarta di Imogiri.
Nyekar dilaksanakan sebagai bentuk doa untuk para leluhur agar mendapat tempat
terbaik di sisi Tuhan.
Hari Minggu (13/10),
pasangan calon temanten Kraton Yogyakarta, GKR Hayu dan KPH Notonegoro
melaksanakan kegiatan nyekar atau berziarah ke pemakaman para
leluhur.
Tempat pertama yang didatangai oleh
pasangan ini adalah Taman Pemakaman Raja-Raja Mataram yang berada di Kotagede,
Yogyakarta. Kawasan ini terdiri dari sebuah Masjid, pemakaman (pasareyan)
Hastana Kitha Ageng, dan Sendang Seliran. Masjid di pemakaman
ini mulai dibangun pada tahun 1575 saat Ki Ageng Pemanahan (Ayah Panembahan
Senopati) wafat. Bangunan pemakaman ini masih mendapat pengaruh dari kebudayaan
pra Islam. Sehingga, tembok dan ornamen dindingnya terasa kental dengan nuansa
Jawa lama.
Di area pemakaman, GKR
Hayu dan KPH Notonegoro memasuki sebuah ruangan atau cungkup yang
berisi banyak nisan berbatu marmer putih. Keadaan dalam cungkup tersebut
relatif sempit serta tercium wangi-wangian dupa dan buang tabur, yakni mawar
merah, mawar putih, roncen melati, kenanga, dan kanthil. Tahlilan dilaksanakan di depan makam Ki
Ageng Pemanahan dan dipimpin oleh Mantri Puja Hastana selaku Mantri dan Juru
Kunci.
Setelah melakukan tahlilan sekitar 25
menit, GKR Hayu dan KPH Notonegoro melanjutkan kegiatan dengan nyekar ke
beberapa makam kunci. Makam yang dikunjungi adalah pemakaman tiga generasi
kerajaan Mataram, yakni Pemakaman Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Senopati sebagai
pendiri kerajaan Mataram, lalu Sinuhun Prabu Hanyokrowati. Di pemakanan
Raja-Raja Mataram ini juga terdapat makam Sri Sultan Hamengku Buwono II beserta
permaisuri. Sri Sultan Hamengku Buwono II ini menjadi satu-satunya Raja
Yogyakarta yang dimakamkan di Pemakaman Raja-Raja Mataram di Kotagede.
Setelah selesai nyekar di
Taman Pemakaman Raja-Raja Mataram, pasangan calon temanten segera beranjak ke
Imogiri, Bantul, tepatnya menuju Pemakaman Raja-Raja Yogyakarta.
Pasareyan pertama yang didatangi
adalah Kagungan Dalem Kedhaton Kasultanagungan. Tahlilan pun dilaksanakan yang dipimpin oleh Mas Lurah
Jaga Mandala. Area selanjutnya adalah area Kagungan Dalem Kedhaton
Kaswargan. Dalam area ini terdapat makam Sri Sultan Hamengku Buwono I dan
III. Seperti makam Sultan Agung, makam para raja ini juga terdapat di dalam
sebuah cungkup, yang terdiri dari beberapa bilik. Bilik sebelah
barat merupakan makam Sultan HB I dan bilik sebelah timur makam Sultan HB III.
Kagungan Dalem
Kedhaton Besiyaran adalah area selanjutnya. Di area
ini terdapat makam Sri Sultan Hamengku Buwono IV, V, dan VI. Di Area ini juga
terdapat makam salah satu Putri Ndalem Sri Sultan Hamengku Buwono VI, Gusti
Hayu, yang saat ini juga menjadi nama dari calon temanten putri, GKR Hayu.
Penggunaan nama atau peniruan nama ini biasa disebut nunggak semi.
Karena GKR Hayu menggunakan nama tersebut, maka makam Gusti Hayu menjadi salah
satu tempat yang wajib didatangi calon temanten. Selain makam Gusti Hayu, ada
di tempat ini terdapat juga makam Pangeran Notonegoro yang namanya digunakan
oleh calon temanten putra.
Area terakhir
adalah Kagungan Dalem Kedhaton Saptarengga. Kagungan Dalem
Kedhaton Saptarengga merupakan area pemakaman untuk Sri Sultan
Hamengku Buwono VII sampai IX. Setiap area Kagungan Dalem Kedhaton ini
dipisahkan dengan tembok yang cukup tinggi. Setiap area ini cukup unik karena
dibuat berundak (bertingkat-tingkat).
Tanah pemakamannya pun bertingkat.
Area paling tinggi akan ditempati oleh Raja dan Permaisuri. Tingkat selanjutnya
akan diisi oleh kerabat Kraton yang lain. Setiap area pemakaman juga harus
melewati beberapa gapura, di setiap Kagungan Dalem Kedhaton terdapat
tiga gapura.
Dalam prosesnya, kedua mempelai melakukan nyekar dengan
urut-urutan sesuai dengan kedudukan Raja Yogyakarta. Calon temanten akan
memulai nyekar dari makam Sri Sultan Hamengku Buwono I
dilanjutkan ke makam Sri Sultan Hamengkubuwono III begitu seterusnya hingga
makam Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Proses Nyekar tetap
menggunakan bunga tabur yang sama seperti yang digunakan di Taman Pemakaman
Raja-Raja Mataram sebelumnya, yaitu terdiri dari mawar merah, mawar
putih, roncen melati, kenanga, dan kanthil.
Dalam acara nyekar ini
bukan berarti kedua calon mempelai harus mendatangi setiap nisan yang ada di
area pemakaman. Kedua calon mempelai hanya akan mendatangi makam-makam inti
untuk menaburkan bunga, sedangkan untuk makam yang lain akan dibantu oleh Abdi
Dalem yang bertugas.
Pemakaman Raja-Raja Yogyakarta ini
memiliki keterkaitan dengan Pemakaman Raja-Raja Mataram, khususnya dalam
silsilah kerajaan. Pemakaman Raja-Raja Mataram, merupakan area pemakaman untuk
generasi awal kerajaan Mataram. Penerus dari Kerajaan ini nantinya akan
dimakamkan di Pemakaman Raja-Raja Yogyakarta.
Pemakaman Raja-Raja
Yogyakarta ini juga menjadi saksi terbaginya Kerajaan Mataram akibat Perjanjian
Giyanti. Seperti yang kita ketahui, Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 membagi
Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan
Surakarta. Terbaginya Kerajaan Mataram ini juga membuat pemakaman turut
‘terbagi’ menjadi dua area, yaitu area pemakaman Kasultanan Yogyakarta dan
Kasunanan Surakarta. Area Kagungan Dalem Kedhaton Kasultanagungan menjadi
‘penengah’ dari area tersebut. Area ini terdapat di tengah-tengah pemakaman,
yang menjadi cikal bakal berdirinya pemakaman para raja tersebut. Area
pemakaman raja Yogyakarta terletak di sebelah timur atau Kagungan Dalem
Kedhaton Kasultanan Agung, sedang untuk raja Surakarta terletak di sebelah
barat.
Adanya Kagungan Dalem Kedhaton
Kasultanagungan sebagai cikal bakal komplek pemakaman ini juga memberi
keistimewaan sendiri dalam pengelolaannya. Para Abdi Dalem yang bertugas di
area ini adalah Abdi Dalem dari Kasultanan Yogyakarta dan Abdi Dalem dari
Kasunanan Solo. Ruang penjagaan atau pecaosan untuk area ini ada dua tempat,
sebelah barat untuk Abdi Dalem Kraton Yogyakarta dan sebelah timur untuk Abdi
Dalem Kraton Surakarta.
Setelah selesai nyekar di Komplek
Pemakaman di Imogiri, kedua calon mempelai beserta rombongan kembali ke Kraton.
Nyekar merupakan sebuah ritual yang tidak pernah ditinggalkan Kraton demi
penghormatan kepada para leluhur dan lestarinya budaya. Diharapkan, dengan
adanya ritual Nyekar ini, selain bertujuan untuk mendoakan leluhur agar
mendapat tempat terbaik di sisi Tuhan, juga dapat melestarikan kebudayaan yang
telah diwariskan para leluhur tersebut.
3.
NYANTRI
Selasa
(20/10), upacara Nyantri untuk kedua calon mempelai dilaksanakan. Upacara
Nyantri bertujuan untuk mengenalkan tradisi Kraton kepada calon menantu. Bagi
calon mempelai pria, Nyantri diawali dengan penjemputan dari bangsal
Kasatriyan.
Di depan Regol
Magangan, Kraton, sekitar pukul 08.30, sudah ada tiga kereta yang akan
digunakan untuk menjemput KPH Notonegoro. Kereta tersebut adalah Kereta Kus
Gading, Kereta Kutharaharja, dan Kereta Puspoko Manik.
Sementara
itu, KPH Notonegoro telah sampai di Dalem Mangkubumen dan diterima oleh KRT
Pujaningrat, selaku Wakil Calon Besan Dalem. Mangkubumen terletak sekitar 500m
arah barat Kraton. “Dahulu tempat ini merupakan tempat tinggal KGPAA
Mangkubumi, Putra Sultan Hamengku Buwono VI,” jelas KRT Pujaningrat BA.
Mangkubumen digunakan sebagai tempat istirahat sebelum KPH Notonegoro menuju ke
Kraton untuk Nyantri.
KPH
Notonegoro lalu dipersilahkan duduk di meja tengah diapit kedua orangtuanya.
Sedangkan keluarga KPH Notonegoro yang lainnya berada di sebelah barat
menghadap ke selatan berhadap-hadapan dengan KRT Pujaningrat dan para kerabat
kraton.
Sekitar
pukul 09.00, di Bangsal Kasatriyan, Kraton, KGPH Hadiwinoto memerintahkan
Abdi Dalem Bupati Nayaka Pengageng II, KRT H Jatiningrat SH, serta KRT
Yudahadiningrat SH untuk menjemput KPH Notonegoro. Utusan Dalem tersebut
kemudian bersama-sama meninggalkan Bangsal Kasatriyan menuju Regol Magangan.
Berangkat
dari Kagungan Dalem Regol Magangan, para utusan menggunakan kereta
Kutharaharja menuju Mangkubumen.Sesampainya di sana, para utusan diterima
oleh KRT Pujaningrat BA.
Rombongan
dipersilakan menikmati jamuan sejenak. Setelah itu, KRT H Jatiningrat SH dan
KRT Yudahadiningrat SH, menghaturkan maksudnya. KRT Jatiningrat SH mengatakan
bahwa ia dan KRT Yudahadiningrat diutus untuk menjemput KPH Notonegoro ke
Kraton untuk mengikuti rangkaian acara Dhaup Ageng.
Setelah
itu KPH Notonegoro pun beranjak menuju Kraton dengan menaiki kereta Kus Gading,
sementara kedua besan menaiki kereta Puspoko Manik.
Dikawal
petugas dari kepolisian dan pasukan berkuda, rombongan kereta berjalan menuju
Regol Magangan. Sesekali nampak KPH Notonegoro melambai pada kerumunan
masyarakat yang antusias melihat iring-iringan kereta menuju Regol Magangan.
Perjalanan dari Mangkubumen menuju Regol Magangan memakan waktu kurang lebih 10
menit.
Sesampainya
di depan Regol Magangan, rombongan beristirahat sejenak untuk melepas alas
kaki. KPH Notonegoro nampak sejenak menyapa warga yang antusias menyambut
kehadiran calon menantu Sultan tersebut. Utusan Dalem lalu mengantar KPH
Notonegoro beserta keluarga untuk memasuki Bangsal Kasatriyan.
Sesampainya
di Bangsal Kasatriyan, KPH Notonegoro beserta keluarga dipersilahkan istirahat
dan dijamu hidangan di Bangsal Sri Katon. Setelah
beristirahat sejenak, tiba saatnya bagi KPH Notonegoro untuk melakukan Nyantri.
Selama Nyantri di
Kasatriyan, KPH Notonegoro diajarkan adat istiadat yang ada di Kraton. KPH
Notonegoro belajar cara berbahasa Jawa dengan Sultan Hamengku Buwono X, cara
menyembah, ngapurancang (gesture tubuh
ala Jawa) dan cara laku ndhodhok, yakni cara
berjalan dengan berjongkok yang menjadi simbol perilaku sopan.
Menurut
KRT Pujaningrat BA, dahulu upacara Nyantri dilaksanakan selama 40 Hari. Namun,
semenjak era Sultan Hamengku Buwono IX, proses ini dipersingkat. Saat ini prosesi Nyantri hanya dilakukan selama
satu hari saja.
Setelah
selesai melaksanakan upacara Nyantri KPH Notonegoro tetap berada di Bangsal
Kasatriyan untuk melanjutkannya dengan upacara Siraman. KPH Notonegoro beserta
keluarga akan tetap tinggal di Bangsal Kasatriyan sampai rangkaian pernikahan
di Kraton selesai.
4.
SIRAMAN
Siraman
adalah upacara memandikan calon mempelai yang disertai dengan niat membersihkan
diri, sebagai simbol penyucian diri lahir dan batin. Upacara Siraman dilakukan di dua tempat, di Bangsal Sekar Kedhaton
untuk GKR Hayu (calon mempelai wanita) dan di Gedhong Pompa Bangsal Kasatriyan
untuk KPH Notonegoro (calon mempelai pria) pada Senin (21/10) sekitar pukul
11.00.
Sebelum
melakukan Siraman, sembari menunggu KPH Notonegoro dijemput dari Mangkubumen,
GKR Hayu melaksanakan sungkeman dengan kedua orang tuanya. GKR Hayu yang
menggunakan kebaya bernuansa merah muda ini keluar dari dalam Kraton Kilen
didampingi oleh BRAy Suryadiningrat dan BRAy Suryametaram. GKR Hayu melakukan
sungkeman di Pendopo Kraton Kilen, pertama-tama kepada Sri Sultan Hamengku
Buwono X kemudian dilanjutkan kepada GKR Hemas.
Setelah
melakukan sungkem, GKR Hayu bersama GKR Hemas dan GKR Pembayun didampingi BRAy
Suryadiningrat dan BRAy Suryametaram beranjak menuju Sekar Kedhaton. Di
belakangnya, terdapat rombongan penari Bedoyo Manten yang membawa ubarampe
untuk siraman yaitu cermin,
alat-alat mandi dan wewangian, handuk, serta beberapa teko serta cangkirnya.
Semua ubarampe dibawa menggunakan baki.
Upacara
Siraman diawali oleh GKR Pembayun yang mengutus GKR Maduretna bersama dua Abdi
Dalem untuk membawa air dari tujuh sumber yang akan digunakan untuk siraman
calon mempelai pria. Air tersebut lalu dibawa dari Bangsal Sekar Kedhaton
menuju Bangsal Kasatriyan.
Sementara
itu, saat GKR Maduretna dan rombongan berangkat menuju Bangsal Kasatriyan,
dimulailah persiapan Siraman di Sekar Kedhaton, GKR Hayu juga berganti pakaian
untuk Siraman.
GKR
Maduretna dan rombongan yang tiba di Bangsal Kasatriyan diterima oleh KGPH
Hadiwinoto. Air yang dibawa GKR Maduretna dibawa masuk oleh Abdi Dalem menuju
Gedhong Pompa untuk digunakan pada upacara Siraman KPH Notonegoro.
Upacara
siraman dimulai setelah GKR Maduretna kembali dari Bangsal Kasatriyan. Nampak
GKR Hayu mengenakan pasadan kain motif Grompol yang diselimuti kain motif
Sidaasih sebagai busana untuk siraman. Ia lalu berjalan menuju kamar mandi
Bangsal Sekar Kedhaton bersama dengan GKR Hemas, GKR Pembayun, dan rombongan.
Siraman diawali
dengan doa yang dipimpin oleh Nyai Kanjeng Raden Penghulu Dipodiningrat, selaku
penghulu (pendoa) putri di Kraton Yogyakarta, kemudian dilanjutkan dengan
siraman pertama oleh GKR Hemas, tiga kerabat Kraton, Martha Tilaar dan BRA
Mooryati Soedibyo. Siraman diakhiri dengan wudhu dan doa yang dipimpin oleh
Nyai Kanjeng Raden Penghulu Diponingrat. Setelah berwudhu, kendi yang digunakan
untuk berwudhu tadi dipecahkan di depan GKR Hayu oleh GKR Hemas. Pecahnya kendi
ini menjadi simbol pecah pamor yakni
keluarnya pesona dari calon mempelai. Diharapkan, setelah ini, calon mempelai
tersebut akan semakin cantik dan manglingi (membuat
setiap orang tidak mengenal saking cantiknya).
Selesai
siraman, GKR Hayu mengganti busananya dengan kain motif Sidomukti yang
diselimuti kain motif Sidoluhur. GKR Hayu kemudian beranjak dari lokasi Siraman
dan menuju Bangsal Sekar Kedhaton ditemani oleh Tienuk Riefki selaku perias.
Setelah selesai melakukan Siraman di
Sekar Kedhaton, GKR Hemas beserta rombongan beranjak menuju Gedhong Proboyekso
untuk melakukan halup-halupan bersama
Tienuk Riefki. Halup-halupan adalah
proses mengerik rambut depan pengantin untuk membentuk cengkorongan. Proses
ini juga menjadi proses yang mengawali Tata Rias Paes Ageng.
Selesai melakukan halup-halupan, GKR Hemas beserta rombongan meninggalkan
Sekar Kedhaton dan beranjak menuju Bangsal Kasatriyan untuk melakukan Siraman
bagi KPH Notonegoro. Proses Siraman yang dilakukan sama dengan Siraman untuk
GKR Hayu. Di sini, Ibunda KPH Notonegoro dan sesepuh perempuan dari KPH
Notonegoro juga ikut mengguyurkan air. Siraman untuk KPH Notonegoro dimulai
sekitar pukul 11.30.
Saat
Siraman, KPH Notonegoro mengenakan kain motif Grompol, sedangkan setelah
selesai Siraman, KPH Notonegoro berganti pakaian dengan kain motif Sidoluhur
yang diselimuti kain Sidoasih. Selesai melakukan Siraman di Bangsal Kasatriyan,
KPH Notonegoro keluar dari Gedhong Pompa dengan diapit Ir GBPH H Suryadiningrat
dan Dr GBPH Suryametaram diikuti rombongan. Setelah istirahat sejenak, GKR
Hemas beserta seluruh rombongan kembali ke Bangsal Sekar Kedhaton.
Selama
upacara Siraman, GKR Hemas dan Ibunda KPH Notonegoro mengenakan kebaya kartini
warna ungu dengan corak emas. Sementara itu saudara perempuan GKR Hayu kebaya
kartini warna biru muda dan kebaya warna ungu dikenakan oleh kerabat Kraton.
5.
MAJANG
PASAREYAN, PASANG TARUB DAN BLEKETEPE
Tarub yang terdiri dari hasil bumi
seperti pisang, padi, kelapa, dan palawija serta janur kuning (daun kelapa yang
masih muda) secara bertahap mulai diikat dan dipasang di beberapa sudut Kraton.
Sedangkan Bleketepe merupakan anyaman daun kelapa yang hijau dan dilengkapi
dengan tumbuh-tumbuhan. Untuk pernikahan GKR Hayu & KPH Notonegoro ini,
proses persiapan Tarub dilakukan di Regol Magangan dan proses pembuatan Tarub
dilakukan oleh para Abdi Dalem Prajurit.
Pemasangan Tarub dan
Bleketepe dilakukan oleh para Abdi Dalem reh Kwedanan Hageng Punokawan Wahana
sarta Kriya dengan dibantu para Abdi Dalem Prajurit atas perintah KGPH
Hadiwinoto melalui KRT Kusumonegoro. Proses pemasangan dilakukan oleh
kurang lebih 100 orang Abdi Dalem Prajurit yang terdiri dari 10 bregada Abdi
Dalem yakni Wirabraja, Dhaeng, Patangpuluh, Jogokarya, Prawiratama, Ketanggung,
Mantrijero, Nyutra, Bugis, dan Surakarsa. Pada setiap lokasi pemasangan,
terdapat lima Abdi Dalem Prajurit yang memasang berbagai macam hasil bumi untuk
perlengkapan Tarub.
Sekitar
pukul 10.10, bertempat di Tratag Kuncung Bangsal Kencana, GBPH Hadiwinoto
memerintahkan Abdi Dalem untuk memasang Bleketepe di tempat tersebut. Seorang
Abdi Dalem menaiki tangga untuk menaruh Bleketepe di tepi atap kuncung Kagungan
Dalem Bangsal Kencana.
Terdapat banyak tempat yang dijadikan
lokasi upacara pemasangan Tarub dan Bleketepe. Tempat-tempat untuk pemasangan
Tarub dimulai dari Pagelaran, Pacikeran, Tarub Agung, Regol Brajanala, Bangsal
Ponconiti, Regol Keben, Doorlop Srimanganti, Bangsal Trajumas, Regol
Danapretapa, Doorlop Bangsal Kencana, Kuncung Tratag Bangsal Kencana Timur
kemudian ke arah timur menuju Regol Gepura.
Sedangkan Bleketepe dipasang di atas
Kuncung Tratag Bangsal Kencana Wetan, Regol Kasatriyan, Bangsal Kasatriyan,
Gedhong Pompa, Gedhong Srikaton, Bangsal Purworukmi, Regol Magangan, Pawon
Kilen dan Wetan, serta Kepatihan.
Sementara itu, saat upacara Pasang Tarub
dan Bleketepe berlangsung serta upacara Siraman mempelai wanita telah selesai,
kesibukan tertuju pada upacara Majang Pasareyan bagi mempelai wanita di Gedhong
Proboyekso. Majang Pasareyan merupakan upacara penghiasan kamar dengan berbagai
macam hiasan seperti kain, bunga, dan juga pernak-pernik lainnya yang
mengandung makna doa pengharapan, keselamatan, tolak bala yang tergambarkan
dari setiap corak dan warna.
Selain kamar GKR Hayu, nantinya, kamar
KPH Notonegoro di Gedhong Srikaton dan kamar tengah di Gedhong Purworukmi yang
semuanya berada di Bangsal Kasatriyan juga akan dihias. Kamar tengah di Gedhong
Purworukmi dipersiapkan untuk upacara Tampa Kaya dan Dhahar Klimah yang
akan dilaksanakan Selasa (22/10) setelah upacara Panggih.
Perakitan hiasan untuk Majang Pasareyan
kamar GKR Hayu dilakukan oleh GKR Condrokirono, Dra GBRAy Riokusumo, Dra GBRAy
Darmokusumo, GBRAy Padmokusumo, BRAy Hadikusumo SU, dan BRAy Hadiwinoto di
Emper Gedhong Proboyekso Kilen sisi selatan yang nantinya akan dibawa masuk ke
dalam kamar di Bangsal Sekar Kedhaton.
Begitu juga dengan kamar KPH Notonegoro,
proses Majang Pasareyan calon mempelai pria dilakukan bersama dengan dilaksanakannya
upacara siraman untuk calon mempelai pria. Proses Majang Pasareyan calon
mempelai pria juga dilakukan sekitar pukul 10.00 oleh GBRAy Murdokusumo BA,
Dra. GBRAy Darmokusumo, dan GBRAy Padmokusumo di Gedhong Srikaton, sedangkan
untuk kamar tengah Gedhong Purworukmi dihias oleh Dra. GBRAy Riyokusumo, BRAy
Puruboyo, BRAy Hadikusumo SU, dan BRAy Hadiwinoto. Terlihat juga di sisi dalam
sebelah timur Gedhong Purworukmi sejumlah sesajen sebagai pelengkap hiasan
pasareyan.
6. TANTINGAN
Untuk
upacara tantingan, calon mempelai putri, GKR Hayu mengenakan busana kebaya
tangkepan warna hijau, memakai bros, dan memakai sanggul tekuk dengan diberi
hiasan peniti renteng memakai
sanggul ukel cengklik, mengenakan kebaya tutup kartinian
Upacara Tantingan dimulai pada Senin
(21/10) pukul 20.00 WIB di Emper Bangsal Proboyekso. Tantingan merupakan proses
dimana Sultan akan menanyakan kemantapan hati serta kesiapan GKR Hayu untuk
menikah dengan KPH Notonegoro.
Dalam acara Tantingan ini, terlihat
keempat putri Sri Sultan Hamengku Buwono X, yakni GKR Pembayun yang berpakaian
nuansa biru, GKR Condrokirono, GKR Maduretno, dan GKR Bendara bersama GBPH
Prabukusumo dan GBPH Cakraningrat serta Abdi Dalem yang bertugas.
GKR Hayu yang mengenakan kebaya warna
hijau muda, masuk Bangsal Proboyekso diapit oleh BRA Suryadiningrat dan
BRA Suryametaram. Sebelumnya GKR Pembayun, GKR Candrakirono, GKR Maduretna dan
GKR Bendara serta kerabat tiba terlebih dahulu.
Setelah Sultan Hamengku Buwono X bersama
GKR Hemas dengan busana bernuansa hijau datang, GKR Pembayun mengantarkan GKR
Hayu untuk mendekat kepada Sultan. GKR Hayu bersama GKR Pembayun berada di sisi
kanan Sultan, sementara itu GBPH Prabukusumo dan GBPH Cakradiningrat serta
Kanjeng Raden Penghulu Diponingrat bersama petugas KUA berada di sisi kiri
Sultan.
Terlihat kerabat kraton putri yang duduk
di sisi sebelah selatan Gedhong Proboyekso. Para kerabat putri berbusana nuansa
kuning dan hijau. Kanca Abdi Dalem Kaji selosin hadir di emper Gedhong
Proboyekso duduk menghadap arah barat berhadap-hadapan dengan Sultan Hamengku
Buwono X.
Acara dimulai ketika Sultan
bertanya,”Gusti Kanjeng Ratu Hayu opo sliramu saguh tak dhaupake karo abdi
ingsun Kanjeng Pangeran Haryo Notonegoro (Gusti Kanjeng Ratu Hayu apa kamu
bersedia saya nikahkan dengan Kanjeng Pangeran Haryo Notonegoro?)”
Kemudian
GKR Hayu menjawab,”inggih sendika (Saya bersedia)”
Acara Tantingan yang dilaksanakan di
Emper Bangsal Proboyekso ini berlangsung khidmat. Bangsal Proboyekso yang
sebenarnya merupakan ruangan tertutup dibuka lebar sebagai akses agar orang
bisa melihat dengan jelas.
Setelah
GKR Hayu menjawab pertanyaan sang Ayah, GKR Hayu lalu menandatangani surat
nikah yang sudah disiapkan. Acara ini diakhiri dengan doa yang dipimpin oleh
Kanjeng Raden Penghulu KRT Drs H Ahmad Kamaludiningrat dan setelah itu
dilanjutkan dengan sungkem yang dilakukan GKR Hayu kepada Sri Sultan. Setelah
itu, Kanjeng Raden Penghulu KRT Drs H Ahmad Kamaludiningrat, petugas KUA,
dan Kanca Abdi Dalem Kaji selosin undur diri dari Kagungan Dalem Proboyekso.
Sri Sultan dan GKR Hemas beserta GBPH Prabukusumo dan GBPH Cakradiningrat
undur diri dari Kagungan Dalem Proboyekso untuk selanjutnya menuju Kagungan
Dalem Kasatriyan. GKR Hayu diikuti GKR Pembayun beserta BRA Suryadiningrat
dan BRA Suryametaram juga turut undur diri dan kembali menuju Kagungan Dalem
Sekar Kedhaton untuk melaksanakan Midodareni.
Upacara Tantingan ini pada awalnya
merupakan sebuah upacara dimana Sultan akan mengumumkan siapa yang akan menjadi
istri atau suami dari anaknya yang akan menikah. Hal ini dikarenakan pada zaman
dahulu, sebuah pernikahan terjadi atas dasar proses perjodohan. Namun, seiring
dengan memudarnya perjodohan sejak era Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Tantingan
berubah menjadi acara untuk menanyakan kesiapan pengantin untuk pernikahan yang
akan dijalani. Tetap dilaksanakannya acara ini juga menjadi salah satu cara
untuk melestarikan budaya Kraton.
Sementara
itu,setelah tantingan, terdengar suara tahlil yang saling bersautan dimana
sedang diadakannya Mujahadah di Masjid Panepen. “Upacara ini berisi doa-doa
atau muhajadah yang dipanjatkan agar acara akad nikah esok pagi dan seterusnya
berjalan lancar. Diawali dengan tahlil-tahlil dan diakhiri dengan mujhadah”,
ungkap KRT Drs H Ahmad Kamaludiningrat yang juga sebagai Penghageng II
Kawedanan Pengulon. Acara dipimpin oleh Raden Rio Haji Abdul Ridwan dan diikuti
kedua belas anggota Abdi Dalem Kaji serta dihadiri diantaranya dua orang
perwakilan dari KUA. “Mujahadah merupakan upacara yang telah dimulai dari Sri Sultan
Hamengkubuwono I dan masih dilestarikan sampai saat ini,” pungkasnya sembari
keluar menuju Regol Kamandungan Lor atau Regol Keben.
7.
MIDODARENI
Upacara midodareni, Senin (21/10) masih
menjadi satu rangkaian acara dengan upacara tantingan yang dimulai pukul 20.00. Acara ini
berlangsung di Sekar Kedhaton, khusus untuk calon mempelai wanita yaitu GKR
Hayu. KPH Notonegoro, selaku calon mempelai pria melaksanakan upacara ini
secara terpisah di Bangsal Kasatriyan.
Istilah midodareni berasal dari kata widodari yang artinya bidadari. Makna kata midodareni adalah untuk menyucikan diri dan menyiapkan mental untuk acara
pernikahan. Upacara midodareni diambil dari cerita turunnya Dewi
Nawangwulan untuk menemui anaknya pada saat upacara midodareni. Diharapkan calon mempelai
wanita menjadi cantik seperti bidadari.
Upacara midodareni dimulai
pukul 20.10 dan dihadiri oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X beserta
Permaisuri. Selain itu turut hadir saudari-saudari dari GKR Hayu yaitu GKR
Pembayun, GKR Condro Kirono, dan juga GKR Bendara. Para Abdi Dalem Putri Sipat
Bupati, para Istri Abdi Dalem Pangeran Sentana/Bupati Nayaka Penghageng II, dan
para Wayah Dalem juga turut hadir dalam acara ini.
Dalam upacara midodareni ini, Sultan mengunjungi kedua mempelai
sekaligus meninjau lokasi dan kesiapan untuk acara keesokan harinya. Dari
Bangsal Sekar Kedhaton, Sri Sultan Hamengku Buwono X beserta GKR Hemas dijemput
oleh GBPH Prabukusumo untuk menemui keluarga calon mempelai pria di Bangsal
Kasatriyan. Tibanya Sultan beserta Permaisuri di Bangsal Kasatriyan disambut
oleh GBPH Hadiwinoto dan diiringi gendhing (permainan gamelan) Prabu Mataram
sebagai penghormatan.
Sultan Hamengku Buwono X
beserta rombongan kemudian masuk menuju Sri Katon melalui Gadri Kasatriyan
untuk meninjau kamar pengantin. Setelah selesai meninjau kamar pengantin,
Sultan Hamengku Buwono X duduk di bangsal Sri Katon bersama kerabat dan besan.
KPH Notonegoro lalu mengambil setangkai bunga mawar warna biru yang dititipkan
kepada Sultan Hamengku Buwono X untuk diberikan kepada GKR Hayu. Sultan
menerima bunga mawar biru tersebut meskipun hal tersebut bukan tradisi Kraton.
Tak lama kemudian, Sultan
Hamengku Buwono X beranjak meninggalkan Kasatriyan sambil membawa bunga mawar
dari KPH Notonegoro menuju Sekar Kedhaton dengan diiringi gendhing Sri Kondur.
Sementara itu, di Bangsal Sekar
Kedhaton, GKR Hayu didampingi oleh BRAy Suryadiningrat serta BRAy
Suryametaram, menunggu kedatangan dari Sri Sultan dan Permaisuri. Begitu
Sultan datang, hal pertama yang dilakukan Sultan adalah menyerahkan bunga
titipan KPH Notonegoro. GKR Hayu terlihat kaget dengan titipan yang dibawa oleh
Sultan, ia lalu menerima bunga tersebut. Setelah itu, Sultan didampingi
GKR Bendara menengok persiapan calon mempelai wanita yang merupakan putri dari
Sultan sendiri.
Selama upacara midodareni berlangsung, calon mempelai
wanita ditemani keluarga dan beberapa Abdi Dalem. Setelah menengok
persiapan, Sultan dan permaisuri bersama Putra-Putri Dalem, kecuali GKR
Pembayun, kembali ke Kraton Kilen. GKR Pembayun tetap berada di Sekar Kedhaton
untuk menemani GKR Hayu menjalani malam Midodareni. Sementara itu, tamu yang
datang lalu dipersilahkan untuk makan malam.
Calon mempelai wanita tetap melaksanakan kewajiban untuk tidak
tidur sampai lewat tengah malam sesuai tradisi yang sudah turun-temurun
dilaksanakan. Dalam upacara ini, calon mempelai wanita nampak mengenakan cengkorongan atau kerangka riasan tipis pada
keningnya. Kerangka riasan tersebut akan dilanjutkan keesokan harinya menjelang
upacara Panggih.
Setelah upacara Tantingan
selesai, terdengar suara tahlil yang saling bersautan yang menandakan sedang
diadakannya Mujahadah di Masjid Panepen.
8.
AKAD NIKAH
Selasa (22/10) pukul 07.00, Akad Nikah
KPH Notonegoro dengan GKR Hayu dilaksanakan di Mesjid Panepen, Kraton Yogyakarta.
Akad Nikah dihadiri oleh Sultan Hamengku Buwono X, KPH Notonegoro, beserta
kerabat laki-laki.
Sebelum Akad Nikah, KPH
Notonegoro yang diapit oleh Ir GBPH Suryadiningrat dan Dr GBPH Suryametaram,
berangkat dari Bangsal Kasatriyan menuju Bangsal Trajumas bersama rombongan
yang terdiri dari KGPH Hadiwinoto, GBPH Pakuningrat, GBPH Hadinegoro, GBPH
Suryanegaran, GBPH Hadisurya, GBPH Candradiningrat, KPH Wironegoro, KPH
Purbodiningrat, dan KPH Yudhanegara. Rombongan tersebut juga diikuti oleh
para Pendherek, berpakaian atela putih, yang
berjumlah enam orang diantaranya KRT Pujaningrat, dan KRT Yudahadiningrat serta
orangtua dari KPH Notonegoro.
Sesampainya di Bangsal Trajumas,
rombongan mempelai pria telah ditunggu oleh KRT Drs H Ahmad Kamaludiningrat,
KRP Dipodiningrat, dua orang perwakilan KUA, dan para Abdi Dalem Punakawan
Kaji. Keseluruhan rombongan berkumpul untuk menunggu GBPH H Prabukusumo SPsi
sebagai utusan dalem yang akan menjemput dan menyampaikan bahwa Sultan Hamengku
Buwono X telah hadir di Masjid Panepen serta siap untuk dilakukannya upacara
akad nikah.
Sekitar pukul 07.10, Sultan Hamengku
Buwono X lalu memerintahkan GBPH H Prabukusumo S Psi dan GBPH H Cakraningrat SE
agar memanggil dua rombongan tadi. Hal ini menjadi tanda bahwa upacara Akad
Nikah dapat dimulai. GBPH H Cakraningrat SE lalu beranjak menuju Teras Bangsal
Sri Manganti untuk menjemput KRP Dipodiningrat beserta rombongannya menuju
Mesjid Panepen. Sedangkan, GBPH Prabukusumo SPsi menuju ke Kagungan Dalem
Bangsal Trajumas untuk menjemput GBPH Hadiwinoto dan KPH Notonegoro beserta
rombongan menuju Mesjid Panepen. Terlihat di barisan terdepan, KRP
Dipodiningrat membawakan mas kawin yang berupa Al Quran dan seperangkat alat
sholat, sembari beranjak bersama rombongan menuju Masjid Panepen yang disusul
GBPH H Prabukusumo SPsi dan rombongan KPH Notonegoro.
Sesampainya di dalam Mesjid Panepen,
GBPH Prabukusumo SPsi duduk di belakang Sultan HB X berdampingan dengan
GBPH Haji Joyokusumo dan GBPH Cakraningrat. Sedangkan KGPH Hadiwinoto duduk di
sebelah selatan menghadap utara bersama dengan kerabat-kerabat Sultan yang
lain. KPH Notonegoro lalu duduk menghadap Sultan HB X. Perangkat Mas Kawin
dan para rombongan yang lain duduk di belakang KPH Notonegoro.
Sekitar pukul 07.15, Sultan HB X memulai
Ijab Kabul. Ijab dimulai dengan khotbah nikah yang disampaikan oleh KRP
Dipodiningrat. Setelah khotbah nikah selesai, Sultan Hamengku Buwono X
menjabat tangan KPH Notonegoro dalam Ijab Kabul. Di sini, Sultan HB X
menikahkan sendiri putrinya.
KPH
Notonegoro kemudian mengucapkan ikrar Ijab Kabul dengan tegas menggunakan
bahasa Jawa Bagongan, “Kula Abdi Dalem KPH Notonegoro dinten menika
ngestoaken dhawuh timbalan Dalem Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Hingkang
Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Hingkang Jumeneng Kaping Sedasa,
kadhaupaken kalyan Putra Dalem Putri GKR Hayu, kanthi mas kawin Kitab Suci Al
Qur’an sarta seperangkat alat sholat, Salajengipun nyadhong berkah pangestu
dalem, Sembah nuwun. (dalam
bahasa Indonesia berarti “Saya, KPH Notonegoro, menjalankan
titah Yang Mulia Ngarsa Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono X, untuk dinikahkan
dengan putri Yang Mulia, GKR Hayu, dengan mas kawin Kitab Suci Al Qur’an
beserta seperangkat alat sholat. Dan selanjutnya mohon doa restu Yang Mulia,
terima kasih.”)“
Setelah
itu acara disambung dengan doa nikah yang dipimpin oleh Penghageng Kawedanan
Pengulon Kanjeng Kamaludiningrat.
Dengan diikrarkannya
Ijab Kabul ini, KPH Notonegoro akhirnya telah resmi menjadi menantu Sultan HB
X. Akad Nikah selesai sekitar pukul 07.40. KPH Notonegoro lalu
menghaturkan sungkem dengan terlebih dahulu
melepas keris di belakang pinggangnya. Setelah sungkem, Sultan
HB X memerintahkan KGPH Hadiwinoto untuk mengantarkan KPH Notonegoro kembali ke
Bangsal Kasatriyan. Di Bangsal Kasatriyan, KPH Notonegoro berganti busana dan
segera bersiap-siap untuk upacara Panggih.
9.
PANGGIH
Upacara Panggih
Temanten atau bertemunya pengantin wanita dan pengantin pria
dilaksanakan di Bangsal Kencana, pada Selasa (22/10) sekitar pukul 10.00.
Sekitar pukul 9.30, Sri
Sultan Hamengku Buwono X beserta GKR Hemas hadir di Bangsal Kencana. Kehadiran
Sultan disambut dengan penghormatan gendhing (iringan suara
gamelan) Prabu Mataram dan Raja Manggala.
Sri Sultan Hamengku Buwono X kemudian memerintahkan GBPH Prabukusuma dan
GBPH Cakraningrat untuk memanggil KGPH Hadiwinoto agar membawa mempelai pria,
KPH Notonegoro, dari Bangsal Kasatriyan.
Tak lama, rombongan
mempelai pria didampingi oleh GBPH Suryadiningrat dan GBPH Suryametaram lalu
muncul dan berjalan menuju Bangsal Kencana. Iring-iringan pengantin pria
terdiri dari dua pasang penari edan-edanan, Abdi Dalem Keparak Para
Gusti yang membawa pisang sanggan serta kembar mayang didampingi
oleh GBRAy Murdokusumo.
Rombongan juga diikuti
oleh GBPH Prabukusumo dan GBPH Cakraningrat, Abdi Dalem edan-edanan Reh
Kawedanan Hageng Kridhamardawa sebanyak dua pasang, KGPH Hadiwinoto, mempelai
pria dan pendamping, Abdi Dalem Kanca Gedhong Reh Kawedanan Hageng Punakawan
Puraraksa yang membawa gantal (sirih) beserta kelengkapannya,
serta orang tua mempelai pria berikut rombongannya.
Upacara diawali dengan
keluarnya beksan edan-edanan dari Bangsal Kasatriyan menuju
Bangsal Kencana. Tarian yang dibawakan oleh para penari yang berdandan compang-camping ini
merupakan simbol tolak bala.
Rombongan
mempelai pria lalu keluar dari Bangsal Ksatriyan membawa pisang sanggan.
GBRAy Murdokusumo mengantar Abdi Dalem Keparak Para Gusti yang membawa pisang
sanggan serta kembar mayang untuk diserahkan pada GKR
Pembayun sebagai tanda bahwa mempelai pria sudah siap dipertemukan dengan
mempelai wanita.
Pada waktu yang hampir
bersamaan, mempelai wanita keluar dari Sekar Kedhaton menuju Bangsal Kencana
dengan berjalan kearah timur melalui tratag Gedhong Proboyekso. Rombongan
mempelai wanita terdiri dari Abdi Dalem Keparak Para Gusti yang membawa kembar
mayang, GKR Pembayun, patah sakkembaran (dua anak kecil
pendamping pengantin). Sementara itu, mempelai wanita didampingi oleh BRAy
Suryadiningrat serta BRAy Suryametaram, Abdi Dalem Keparak Para Gusti yang
membawa gantal (sirih), Para Gusti Kanjeng Ratu Putra dalem
Putri, Para Gusti Bendara Raden Ayu, dan para istri Gusti Bendara Pangeran.
Didampingi GKR
Pembayun, mempelai wanita melaksanakan urutan acara panggih berikutnya
yaitu balangan gantal. GKR Hayu berhadap-hadapan dengan KPH
Notonegoro di Tratag Bangsal Kencana untuk saling melempar gantal atau
gulungan daun sirih. KPH Notonegoro mendapat giliran pertama untuk
melempar gantal dengan mengarahkan lemparan pada dahi, dada,
dan lutut GKR Hayu. Balangan Gantal ini memiliki makna bahwa
dalam kehidupan pernikahan kelak, pasti akan terjadi kesalahpahaman yang harus
diakhiri dengan perdamaian. Kesalahpahaman merupakan bagian dari dinamika hidup
kehidupan suami dan istri.
Urutan upacara Panggih berikutnya
adalah mecah tigan (memecah telur). Dalam upacara ini, telur
yang telah disiapkan diinjak oleh KPH Notonegoro. Mecah tigan merupakan
simbol bahwa kedua mempelai akan menginjak kehidupan baru, dari yang semula
belum menikah, menjadi berkeluarga.
Setelah mecah tigan,
upacara dilanjutkan dengan melaksanakan wijikan (membasuh kaki
mempelai pria). Wijikan merupakan simbol dari wujud bakti seorang istri kepada
suaminya. Tampak GBPH Suryadiningrat membantu memegang kain yang dikenakan oleh
KPH Notonegoro sementara GKR Hayu membasuh kaki mempelai pria.
Puncak dari upacara
Panggih ini adalah pondhongan. Di sini GKR Hayu dipondhong atau
digendong dari Tratag Bangsal Kencana sisi tengah menuju emper sisi timur
Bangsal Kencana oleh KPH Notonegoro dengan dibantu oleh GBPH Suryametaram,
selaku Paman dari GKR Hayu.
GKR Hayu duduk di atas lengan KPH
Notonegoro dan GBPH Suryametaram yang saling berkait dengan posisi berhadapan
untuk menggendongnya. Kedua tangan GKR Hayu merangkul bahu KPH Notonegoro dan
bahu GBPH Suryametaram.
Pondhongan ini
hanya dilakukan bila mempelai wanita adalah putri Raja yang sedang bertahta.
Upacara ini merupakan simbol bahwa mempelai wanita, sebagai anak raja, haruslah
berada di posisi yang terhormat.
Setelah GKR Hayu turun
dari pondhongan, kedua mempelai bergandengan tangan didampingi
oleh BRAy Suryadiningrat dan diikuti oleh BRAy Suryametaram, KGPH Hadiwinoto,
dan GKR Pembayun. Kedua mempelai berjalan menuju kursi pelaminan yang berada di
Tratag Bangsal Kencana sebelah barat menghadap ke timur dengan diawali
oleh patah sakkembaran untuk berjabat tangan dengan para tamu.
Sri Sultan Hamengku Buwono X, GKR Hemas, beserta kedua orang tua KPH Notonegoro
turut mendampingi kedua mempelai untuk berjabat tangan dengan para tamu.
Usai semua tamu memberikan doa restu,
Sri Sultan Hamengku Buwono jengkar (beranjak) dari Bangsal
Kencana pertanda upacara panggih telah selesai dengan diiringi
penghormatan gendhing Sri Kondur dan Tedhak Saking.
Acara Panggih berlangsung meriah dan
khidmat. Para tamu undangan tampak antusias mengabadikan setiap prosesi adat
yang ada di acara ini. Setelah acara selesai, kedua mempelai segera bergegas
menuju Bangsal Kasatriyan untuk melaksanakan upacara Tampa Kaya dan
Dhahar Klimah.
10. TAMPA KAYA DAN DHAHAR KLIMAH
Selasa (22/10) sekitar pukul 12.00
WIB, setelah upacara Panggih yang dilangsungkan di Tratag Bangsal Kencana,
dilaksanakan acara Tampa Kaya dan Dhahar Klimah. Tampa Kaya dilaksanakan di kamar tengah Gedhong
Purworukmi, sedangkan Dhahar Klimah dilaksanakan di Gadri Bangsal Kasatriyan. Kedua
acara ini masih di area yang sama yaitu Bangsal Kasatriyan.
Tampa Kaya yang dilaksanakan di kamar
tengah Gedong Purworukmi ini hanya diikuti keluarga dan kerabat. Saat
upacara Tampa Kaya ini, KPH Notonegoro duduk di tepi selatan tempat tidur
(pasareyan) dan GKR Hayu duduk bersimpuh dibawahnya. KPH Notonegoro kemudian
mengucurkan kantong yang berisi ubarampe sebagai
lambang kemakmuran. Kucuran dari kantong tersebut lalu diterima oleh GKR
Hayu, juga menggunakan sebuah kantong.
Selama upacara Tampa Kaya
berlangsung, kedua mempelai didampingi oleh GKR Pembayun. Beliau membantu dan
menuntun untuk mengarahkan jalan, posisi duduk, hingga membukakan kantong.
Kantong yang menjadi simbol “pemberian nafkah” ini merupakan kantong yang
terbuat dari bambu yang dilapisi kain berwarna putih. Kantong ini berisi uang
receh, biji-bijian seperti kedelai, jagung, kemiri, kacang hijau juga bunga
setaman yang terdiri dari bunga melati, mawar merah-putih, dan kanthil sejodho.
Upacara Tampa Kaya diakhiri dengan
pemberian kantong yang berisi ubarampe dari
GKR Hayu ke sang ibunda, GKR Hemas. Setelah Tampa Kaya,
mempelai diapit oleh Ir GBPH Suryadiningrat beserta istri dan Ir GPH
Suryamataram menuju Gadri Kasatriyan. Untuk melaksanakan Dhahar Klimah.
Hidangan untuk Dhahar Klimah terdiri
dari Nasi Kuning, Jangan Menir atau
sayur bening berisi bayam dan jagung, Pindang Anthep yang
terdiri dari hati lembu, juga Ulet-Ulet atau makanan dari tepung yang dibuat
seperti ulet-uletan tujuh
warna, selain itu juga ada teh manis.
Dalam
upacara ini, KPH Notonegoro mengepalkan nasi kuning sebanyak tiga kepal untuk
GKR Hayu. Kepalan nasi itu terdiri dari nasi kuning yang diisi oleh lauk pauk
yang tadi disebutkan. Kepalan nasi dan lauk tersebut lalu diberikan ke piring
GKR Hayu. GKR Hayu kemudian memakan nasi kuning dan lauk yang sudah disiapkan
suaminya untuknya.
Tampa Kaya dan Dhahar Klimah menjadi
salah satu upacara budaya yang melengkapi acara pernikahan. Acara ini
menyimbolkan hubungan suami-istri dan juga memiliki arti bahwa seorang suami
harus siap dan bisa menghidupi serta menafkahi istri dan anak-anaknya kelak.
Begitu juga dengan tugas istri dalam keluarga yang secara bijak dan bertanggung
jawab untuk mengatur dan mengelola nafkah yang sudah disediakan oleh suaminya.
Setelah upacara Tampa Kaya dan Dhahar Klimah selesai,
kedua mempelai beranjak menuju Gedong Srikaton untuk berfoto bersama sebelum
dipersilahkan untuk istirahat.
11. KIRAB TEMANTEN
Iring-iringan kereta pengantin
bersama dengan para bregada (pasukan
prajurit) keluar dari Pelataran Keben (Kraton sebelah barat) untuk melakukan
kirab sampai ke Kepatihan atau Kantor Gubernur DIY, Rabu (23/10). Terdapat 12
kereta kuda pada Kirab kali ini yang juga diikuti oleh total 480 orang prajurit
dan 68 ekor kuda. Rombongan Kirab dibagi menjadi dua kloter, rombongan pertama
merupakan rombongan kereta pengantin, dan rombongan kedua merupakan rombongan
kereta Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Rombongan kereta pengantin berangkat
sekitar pukul 09.00. Rombongan pertama ini berangkat dari Pelataran Keben,
dengan rute melewati Mesjid Gedhe, Museum Sonobudoyo, Gedung KONI, Simpang
Empat Kantor Pos Besar, lurus ke utara hingga menuju Kepatihan. Barisan Kirab
diawali dengan Bregada Patangpuluhan yang berpakaian jubah hitam, kemudian
disusul Bregada Prawirotomo berjubah lurik, di mana masing-masing
Bregada berjumlah sekitar 60 orang.
Nampak Kereta
Kanjeng Kyai Notopuro dinaiki Rayi Dalem yang
diantaranya GBPH Yudhaningrat, GBPH Cakraningrat SE,dan GBPH Condrodiningrat
berada di barisan pertama rombongan kereta pengantin. Di belakangnya, kereta
Kanjeng Kyai Jongwiyat yang dinaiki GKR Hayu dan KPH Notonegoro, mengikuti.
Tampak kedua mempelai mengenakan pakaian Jangan Menir berwarna hijau tosca. Kereta
Kanjeng Kyai Jongwiyat berwarna krem dan ditarik oleh empat kuda putih.
Di barisan ketiga, ada Kereta
Kanjeng Kyai Rotobiru yang dinaiki oleh Ir GBPH Suryadiningrat sarimbit dan Dr GBPH Suryametaram sarimbit. Di
belakangnya, turut mengikuti Kereta Kanjeng Kyai Rotongabeyan, yang merupakan
kereta yang dikendarai oleh orang tua KPH Notonegoro. Sementara itu, di barisan
terakhir, nampak penari Bedhaya Manten mengikuti mengendarai kereta Kanjeng
Kyai Premili dan juga Penari Beksan Lawung Ageng yang mengendarai kuda.
Sampainya iring-iringan kereta
pengantin di perempatan o KM, rombongan kereta Sultan HB X mulai bersiap.
Barisan didahului dengan Bregada Wirabraja yang menggunakan pakaian merah,
diikuti Bregada Daeng, Bregada Ketanggang, kemudian Mantri Jeron. Di
belakang para Bregada tadi, Sultan Hamengku Buwono X menaiki
kereta Kanjeng Kyai Wimono Putra bersama GKR Hemas dan GBPH H Prabukusumo SPsi.
Kemudian lima kereta Kraton yang lain berturut-turut dinaiki oleh GKR Candra
Kirono dan kerabat, GKR Maduretno dan KPH Purbodiningrat, GKR Bendara dan KPH
Yudanegoro, KGPA Paku Alam IX, dan dua kereta terakhir dinaiki kerabat Kraton.
Di antara kereta yang dinaiki GKR Bendara dan KGPA Paku Alam IX terdapat
Bregodo Lombok Abang Paku Alam. Di urutan terakhir, Bregada Plangkir yang menggunakan pakaian warna hitam
berjalan dengan diiringi suara genderang dan seruling.
Jalan
dari Kraton Yogyakarta sampai Kantor Gubernur DIY ditutup. Masyarakat
membanjiri sisi kanan dan kiri jalan. Sesekali Sultan Hamengku Buwono X nampak
melambai kepada kerumunan masyarakat yang antusias menyaksikan Kirab. 2000
orang relawan dan 2500 personil dari Polda DIY juga diterjunkan untuk
menertibkan jalannya Kirab dengan membentuk pagar betis. Media juga diberikan
tempat dengan dipasangnya beberapa panggung yang dijaga oleh kepolisian.
Rombongan
kereta GKR Hayu dan KPH Notonegoro sampai di Bangsal Kepatihan tepatnya di
Gedung Anti Wimono, sekitar pukul 9.30, dan langsung disambut oleh GBPH
Hadiwinoto beserta istri dan GKR Pembayun beserta suami. Sedangkan, rombongan
kereta Sultan tiba di Kepatihan berselang setengah jam kemudian, sekitar pukul
10.00. Rombongan kemudian menuju Gedhong Pacar Binatur lalu berganti baju dan
beristirahat sejenak untuk kemudian melaksanakan acara Resepsi.
12.
RESEPSI
Resepsi atau pahargyan pernikahan GKR Hayu dan KPH Notonegoro
berlangsung di Bangsal Kepatihan yang telah dihias dengan nuansa ungu, Rabu
(23/11) pukul 10.30. Upacara puncak rangkaian acara pernikahan ini diawali
dengan Kirab dari Kraton menuju Bangsal Kepatihan.
Kedua mempelai yang sebelumnya
mengenakan busana Paes Ageng Jangan Menir bernuansa hijau tosca berganti menjadi nuansa hitam. Kedua
mempelai keluar dari Gedhong Pacar Binatur diiringi dengan iringan gendhing Ladrang Manten. Kemudian, kedua
mempelai duduk di pelaminan diapit oleh patah sakkembaran (anak-anak
kecil pendamping pengantin).
Nampak Kolonel Kavaleri (Purn) Sigim
Mahmud (ayah dari KPH Notonegoro) mengenakan beskap hitam, blangkon, kain wiron
engkol, keris serta sindur, dan cenela. Raden Ayu Nusye Retnowati, selaku
ibunda KPH Notonegoro tampak mengenakan kebaya tangkeban berwarna
biru dengan bros dan peniti renteng, ukel tekuk, ubet-ubet angkin sindur, kain wiron, dan cenela.
Sri Sultan Hamengku Buwono X dan GKR
Hemas menyusul keluar dari Gedhong Pacar Binatur dengan aba-aba penghormatan
dan diiringi gendhing Prabu Mataram. Sri Sultan Hamengku Buwono
X mengenakan busana taqwa berikut destar, angkin sindur, nyamping
wiron, serta selop bernuansa biru. Sultan duduk bersebelahan dengan
GKR Hemas yang mengenakan kebaya tangkeban dengan
warna senada busana Sultan, bros dan peniti renteng, ukel tekuk dihiasi bunga, nyamping seredan ubet-ubet, angkin sindur, serta selop.
Resepsi
dibuka dengan doa oleh Raden Riyo H. Ngabdul Ridwan atas perintah Sri Sultan
Hamengku Buwono X, kemudian dilanjutkan dengan penampilan tari-tarian. Ciri
khas resepsi adat Kraton ini adalah ditampilkannya Tarian Bedhaya Manten dan
Beksan Lawung Ageng.
Tarian Bedhaya Manten dibawakan oleh
enam penari wanita. Tarian ini merupakan simbol perjalanan seseorang menuju
rumah tangga. Dua orang penari berperan sebagai sepasang pengantin, sedangkan
keempat penari lainnya memerankan diri sebagai penari Srimpi berbusana warna
merah. Keenam penari tersebut didampingi empat pengamping berbusana janggan hitam. Tarian atau beksan Bedhaya Manten ini diciptakan
oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang menunjukkan kesiapan dan kemandirian
untuk membangun kehidupan.
Setelah
Tarian Bedhaya Manten usai, para tamu undangan baik VIP maupun umum
dipersilahkan memberikan ucapan selamat dan doa restu kepada kedua mempelai.
Para tamu secara berurutan mengantri dari sisi sebelah barat Bangsal Kepatihan.
Tampak beberapa tokoh masyarakat hadir sebagai tamu undangan dalam acara ini,
seperti para anggota DPR, pejabat pemerintahan, dan lain-lain.
“Acara ini luar biasa. Tumplak punjen,
mantu terakhir jadinya spesial karena kita tidak tahu kapan akan ada acara
seperti ini lagi.” tutur Dhidhik Nini Thowok, seniman tari yang tampak
mengenakan beskap bernuansa ungu. “Mudah-mudahan berbahagia, keturunan banyak,
sukses. Selamat nggih,” lanjut Dhidhik mendoakan kedua mempelai.
Doa dan harapan juga datang dari
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi atau yang akrab disapa
Kak Seto, “Semoga kedua mempelai rukun dan berbahagia. Dengan kemampuan IT yang
dimiliki mbak Hayu, semoga bisa membawa kebudayaan Kraton seperti ini go international, menunjukkan bahwa itu budaya kita.”
Setelah Tarian Bedhaya Manten
selesai, acara dilanjutkan dengan Beksan Lawung Ageng yang dibawakan oleh 12
orang penari pria. Sebelumnya kedua belas penari tersebut menaiki kuda dari
Kraton menuju Kepatihan. Tarian ini merupakan karya Sri Sultan Hamengku Buwono
I yang memiliki makna penyatuan lingga-yoni sebagai
lambang kesuburan. Selain itu tarian ini juga simbolisasi para prajurit Kraton
yang sedang berlatih perang menunjukkan semangat patriotisme. Simbol tersebut
ditunjukkan dalam gerakan tarian yang menyerupai orang berlatih ketangkasan di
medan perang. Para penari membawa lawung atau
tongkat panjang berujung tumpul sepanjang kurang lebih tiga meter. Tongkat
tersebut digerakkan dengan cara menyilang dan menyodok.
Sementara
para penari menarikan Beksan Lawung Ageng, sebanyak kurang lebih 2500 tamu
undangan yang hadir dengan tertib menunggu antrian untuk memberi ucapan selamat
dan doa restu. Sebelum memberikan ucapan dan doa restu, para tamu dipersilahkan
menikmati hidangan yang telah disediakan. Para tamu tampak antusias menyaksikan
Beksan Lawung Ageng meskipun sembari berdiri di antrian untuk memberi ucapan
selamat. Tamu yang sudah selesai memberi ucapan doa restu kepada pengantin
dipersilakan untuk mengambil souvenir dan diperbolehkan untuk pulang.
Acara Resepsi selesai pukul 13.00.
Setelah para tamu pulang, nampak kedua mempelai dan keluarga sejenak berfoto
untuk mengabadikan momen indah ini. Rombongan mempelai beserta keluarga
kemudian kembali menuju Kraton untuk melanjutkan rangkaian acara dengan upacara Pamitan pada
malam harinya.
13. PAMITAN
Upacara
Pamitan merupakan penutup dari serangkaian acara pernikahan secara keseluruhan.
Pamitan dilaksanakan Rabu (23/10) setelah acara resepsi di Komplek
Kepatihan. Tepat pukul 19.50, KPH Notonegoro didampingi GKR Hayu berangkat
meninggalkan Bangsal Kasatriyan menuju ruang utama Gedhong Jene. Upacara
Pamitan merupakan penutup dari serangkaian acara pernikahan secara keseluruhan.
Pamitan dilaksanakan Rabu (23/10) setelah acara resepsi di Komplek Kepatihan.
Keberangkatan
ke Gedhong Jene dipimpin oleh GBPH Cakraningrat SE diikuti KGPH Hadiwinoto
sarimbit. Di belakang KPH Notonegoro dan GKR Hayu, nampak Dr GBPH Suryametaram
dan Ir GBPH Suryaningrat berjalan beriringan diikuti orang tua KPH Notonegoro,
Kolonel Kavaleri (Purn) Sigim Mahmud dan Raden Ayu Nusye Retnowati. Selain itu
para kerabat Kraton dan kerabat KPH Notonegoro juga nampak mengikuti upacara
Pamitan di Gedhong Jene. GKR Hayu yang mengenakan kebaya tangkeban dan KPH
Notonegoro yang mengenakan baju atela putih beserta rombongan tiba disambut
oleh Sultan Hamengku Buwono X dan GKR Hemas.
Di
dalam Gedhong Jene, GKR Hayu dan KPH Notonegoro beserta orangtua dari pengantin
pria duduk di kursi sebelah selatan menghadap utara, sedangkan KGPH Hadiwinoto
dan GKR Pembayun beserta rombongan duduk di kursi sebelah utara menghadap ke
selatan. Sedangkan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan GKR Hemas duduk di tengah
sebelah barat menghadap timur sebagai pemimpin upacara.
Dalam
upacara tersebut, Sri Sultan HB X menyampaikan beberapa wejangan dan nasihat
kepada kedua mempelai pengantin sebagai bekal mereka untuk mengarungi kehidupan
rumah tangga. Intinya bahwa dalam berumah tangga harus mengedepankan sikap
saling menghormati, meng hargai, dan mengisi. Sultan juga banyak berpesan
tentang pentingnya komunikasi dan kesetaraan gender dalam kehidupan pernikahan.
“Kalau orang tua mengatakan itu, kita
harus dapat membangun bale somah, yaitu bagaimana rumah yg kita tempati,
keluarga yang kita bangun dengan seluruh anak cucu dan saudara-saudara akan
penuh kedamaian, penuh rasa nyaman. Saling menghargai, saling menghormati.
Keikhlasan itu sangat penting, dalam sebuah pernikahan tidak ada yang menang
dan kalah. ” pesan Sultan. “Menikah itu untuk mencapai kebahagiaan.
Berbicaralah terus terang, apa adanya. Tidak perlu harus marah, susunlah
kata-kata yang baik, arif, dan bijak. Hilangkan rasa ingin menang sendiri yang
dapat menyinggung perasaan suami atau istri. Baik, suami maupun istri, tidak
ada yang harus direndahkan. Semua setara dalam upaya membangun rumah tangga.”
lanjut Sultan lagi. Sultan juga menyampaikan bahwa kedua mempelai harus
mempersatukan cara berfikir dan melangkah karena keduanya sudah tidak lagi
hidup sendiri. Mereka harus empan papan adu rasa (tahu
situasi dan kondisi). “Bangunlah komunikasi yang intens dan terbuka. Itu adalah
sesuatu yang sangat penting.” ucap Sultan.
KPH
Notonegoro pun menjawab pernyataan Sri Sultan HB X bahwa dirinya beserta istri
dan keluarga besar memohon maaf jika dalam tiga hari terakhir terdapat
kesalahan selama tinggal di Kraton. “Kami berdua ingin minta restu karena kami
berdua akan pindah ke New York “, tambahnya.
Setelah
itu acara kemudian ditutup dengan sungkeman. Seusai Pamitan, GKR Hayu dan KPH
Notonegoro beserta KGPH Hadiwinoto dan GKR Pembayun dengan diikuti rombongan
kembali ke Gadri Bangsal Kasatriyan dan istirahat sejenak di Gedhong Srikaton
untuk menikmati hidangan malam.
Di sela-sela akhir acara,
KRT Yudahadiningrat, selaku panitia pernikahan berpesan kepada kedua mempelai
agar terus mengembangkan diri dan mengembangkan Kraton melalui kemampuan IT
yang dimilikinya. Tak berapa lama, Sultan lalu menghampiri awak media untuk
menyampaikan beberapa pesan, “Saya menyampaikan rasa terima kasih kepada
teman-teman semua. Baik media elektronik maupun surat kabar yang selama ini
beberapa hari telah memberitakan jalannya pernikahan. Saya atas nama panitia
mohon maaf sebesar-besarnya apabila dalam pelayanan di dalam membangun
komunikasi dengan teman-teman media ada miskomunikasi.”
Berakhirnya
upacara pamitan disertai dengan berangkatnya kedua mempelai beserta orangtua
mempelai pria kembali ke rumah. Mereka keluar melalui Regol Magangan. Ir GBPH
Suryadiningrat beserta pasangan dan Dr GBPH Suryametaram beserta pasangan pun
turut mengantarkan kepergian GKR Hayu dan KPH Notonegoro sebagai pengantin yang
telah siap mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga.
B. PAKAIAN YANG DIGUNAKAN PENGANTIN
Dalam
Pawiwahan Ageng kali ini GKR Hayu dan
KPH Notonegoro menggunakan busana dodot yang dikenakan dalam prosesi panggih.
Kain yang digunakan pengantin puteri memiliki panjang 4,5 meter. Sedangkan
untuk pengantin pria, kain yang digunakan lebih panjang. Kain batik yang digunakan
berupa motif semen raja. Motif kain batik ini hanya digunakan oleh keluarga
keraton.
Pengantin
menggunakan motif batik semen raja dengan dominasi warna putih dan biru tua.
Batik motif ini sudah turun temurun dipergunakan dalam upacara pernikahan di
lingkungan Keraton sejak pemerintahan Sri Sultan HB VII.
Batik
ini menggunakan warna biru indigo dengan warna emas yang merupakan pancaran
serbuk prada yang dicairkan kemudian ditempelkan pada batik. Motif batik tulis
semen raja ini, sarat dengan corak flora dan fauna yang menggambarkan makna
seseorang yang mulia dan memiliki budi pekerti luhur, yakni menggambarkan
prinsip hidup seseorang yang lahir dari persemenan (tunas). Motif
semen ini juga bercerita tentang kehidupan manusia dari lahir hingga meninggal.
”Motif batik semen raja ini memang tidak memiliki makna khusus dalam
pernikahan. Namun menjadi motif klasik yang dimiliki Keraton Yogyakarta. Motif
ini memiliki makna doa agar si pemakai memiliki keharmonisan hidup dan ketika
menjadi pemimpin bisa memimpin dengan bijak. Serta di kemudian hari semasa
hidupnya hingga meninggal memiliki amalan yang baik,” tambahnya.
C. PAES AGENG: RIAS PENGANTIN
PAKEM KRATON YOGYAKARTA
Busana dan Tata Rias Paes Ageng
Yogyakarta dikenal indah dan memiliki makna baik pada setiap detail wajah,
busana, dan aksesorisnya.
Tata
rias Paes Ageng berasal dari sejarah pernikahan di Kraton yang lalu saat ini
banyak digunakan juga untuk pernikahan masyarakat umum. Dahulu kala, Paes Ageng
hanya boleh digunakan oleh kerabat Kraton saja. Semenjak era Sultan Hamengku
Buwono IX, Paes Ageng mulai diijinkan untuk dikenakan di luar Kraton. Tata rias
Paes Ageng lalu berkembang, dan menjadi tren di kalangan masyarakat umum.
Paes
Ageng digunakan mulai pada saat acara Panggih pada pernikahan Kraton
Yogyakarta. Detail dandanannya indah, detail, dan dikenal rumit. Di samping
itu, terdapat pula makna-makna baik di balik setiap detailnya.
Saat upacara Panggih,
mempelai wanita mengenakan:
ilustrasi
: buku “Sejarah dan Warisan Budaya Kraton Jogja”
a. Cunduk Mentul
Cunduk
Mentul adalah 5 buah hiasan yang berbentuk tangkai bunga yang dipasang di atas
kepala pengantin wanita. Cunduk Mentul yang berada tengah biasanya lebih tinggi
dari yang lain. Cunduk Mentul merupakan simbol empat arah mata angin dan satu
tujuan, yakni Tuhan YME.
b. Sanggul Bokor
Sanggul Bokor adalah bentuk rambut
yang digelung di belakang dan berbentuk bokor serta dihiasi rajutan bunga
melati. Bagian bawah kanan sanggul dipasang roncean melati yang berbentuk
belalai gajah.
c. Cengkorongan
Cengkorongan adalah pembuatan pola
dibagian dahi dipinggiran rambut. Cengkorongan ini berbentuk bunga teratai yang
bermakana kesucian dan menandakan kalau pengantin perempuan masih suci. Pada
sisi Cengkorongan akan dibubuhkan bubuk emas (prada) di sisinya.
Cengkorongan terdiri atas pangunggul, pangapit, dan
panitis. Pangunggul
terletak paling besar ditengah dan memiliki makna “orang yang paling unggul”.
Pengapit terletak di kanan kiri pangunggul dan merupakan simbol pengawal dari
pangunggul. Kemudian panitis terletak di bagian dahi paling pinggir, maknanya
adalah bahwa orang harus teliti, tidak menelan mentah-mentah begitu saja
sesuatu hal, dan harus bisa membedakan mana yang baik mana yang buruk.
Untuk membentuk cengkorongan, rambut
halus di dahi mempelai wanita harus dikerik terlebih dahulu. Upacara mengerik
ini dinamakan halup-halupan dan dilakukan setelah upacara siraman. Halup-halupan memiliki makna harapan agar hal atau
sifat-sifat buruk pada mempelai wanita hilang.
d. Citak
Citak
adalah sebuah riasan berbentuk layang-layang kecil yang terletak di antara alis
dan terbuat dari daun sirih. Citak digunakan untuk menolak bala.
e. Alis Tanduk Rusa dan Jahitan Mata
Alis
mempelai wanita akan dibentuk dengan ujung bercabang dua seperti layaknya
tanduk rusa. Rusa diibaratkan sebagai hewan yang perkasa, sehingga diharapkan
pengantin pun akan tangguh dan perkasa.
Sedangkan
Jahitan Mata adalah dibentuknya dua garis hitam yang digambar dari ujung mata
menuju dan menyatu berujung di kepala. Ujungnya ada di kepala karena merupakan
simbol bahwa pusat pemikiran menjadi satu ke arah kepala. Hal ini bermakna
bahwa diharapkan pemikiran dari kedua mempelai dapat menjadi satu.
f.
Kalung Tiga Susun
Kalung
tiga susun melambangkan tiga tahapan kehidupan manusia, yaitu: lahir, menikah, dan
meninggal
g. Gelang Naga
Gelang
naga dipakai di lengan pengantin. Kepala naga menghadap ke belakang dan
memiliki makna untuk menolak bala.
h. Dodotan
Dodotan
adalah pakaian yang dikenakan pengantin. Terdiri dari kain cinde dan dodotan
itu sendiri. Kain dodot memiliki ukuran 4-5 meter. Biasanya, kain dodot ini
menggunakan motif semen raja yang memiliki makna agar pengantin mempunyai hidup
seperti raja. Motif cinde sendiri melambangkan penghormatan kepada Dewi Sri
(dewi padi) yang melambangkan kemakmuran.
Sedangkan,
pengantin pria akan mengenakan:
ilustrasi
: buku “Sejarah dan Warisan Budaya Kraton Jogja”
a. Kuluk
Kuluk
adalah penutup kepala (berbentuk semacam peci tinggi). Jika mempelai pria
berasal dari keluarga Kraton maka Kuluk yang digunakan adalah Kuluk warna biru,
namun jika mempelai pria adalah menantu Kraton maka yang digunakan warna putih.
Di belakang Kuluk dipasang hiasan berbentuk rambut panjang. Hal ini
menggambarkan pangeran-pangeran zaman dahulu yang selalu berambut panjang.
b. Sumping
Sumping
adalah hiasan di telinga mempelai pria. Sumping diletakkan di atas daun telinga
dan berbentuk segitiga. Sumping merupakan pengharapan agar pendengaran
pengantin laki-laki tajam dan peka terhadap kondisi di sekitarnya.
c. Kalung 3 Susun
Kalung
tiga susun melambangkan tiga tahapan kehidupan manusia, yaitu: lahir, menikah,
dan meninggal
d. Keris
Tidak
ada riasan khusus untuk pengantin laki-laki. Kain yang digunakan pun sama
dengan pengantin perempuan. Hanya saja kain cinde dan dodotan dikenakan pada
pusar ke bawah.
Seluruh
proses merias untuk pernikahan GKR Hayu & KPH Notonegoro dipercayakan
kepada Tienuk Riefki. Tienuk Riefki merupakan perias kepercayaan keluarga
Sultan Hamengku Buwono X. Untuk persiapan pernikahan besok, Tienuk
mendahuluinya dengan melakukan ritual puasa selama seminggu. Ritual puasa ini
dilakukan agar batin menjadi tenang sekaligus doa agar acara pernikahan besok
berjalan lancar.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Upacara
pawiwahan agung yang telah dilaksanakan oleh keraton Yogyakarta dalam rangka
merayakan pernikahan putri Sri Sultan Hamengkubuwana X, yaitu GKR Hayu & KPH Notonegoro. Upacara pawiwahan agung yang
telah dilaksanakan oleh keraton Yogyakarta tersebut merupakan suatu tradisi yang diwariskan oleh
para luhur yang patut untuk dilestarikan dan tetap dijaga keasliannya.
Rangkaian prosesi pernikahan yang
harus dijalani oleh kedua mempelai memang terasa begitu berat dan sangat melelahkan. Akan tetapi rangkaian ritual upacara yang telah dilakukan itu tentu mengandung makna filosofi masing-masing.
Rangkaian prosesi pawiwahan agung ini terdiri dari upacara sugengan atau selametan,upacara
nyekar, upacara
nyantri, upacara siraman, upacara
tantingan, upacara
midodareni, upacara
majang
pasareyan, pasang tarub dan bleketepe, upacara ijab kabul, upacara panggih, upacara tampa kaya dan upacara dahar klimah, kirab temanten, acara resepsi, serta acara pamitan.
Dalam pelaksanaan berbagai rangkaian prosesi pawiwahan
agung tersebut, menggunakan busana dan tata rias yang
berbeda-beda disesuaikan dengan aturan yang telah ditetapkan di
dalam kraton Yogyakarta. Prosesi puncak dalam acara pawiwahan agung yaitu
pada saat upacara panggih, kedua mempelai pengantin dirias dengan menggunakan
tata rias paes ageng dan busana yang digunakan adalah busana kebesaran Keraton
Yogyakarta.
B.
SARAN
Sebagai
orang Jawa yang terkenal akan
budayanya alangkah baiknya bila kita turut melestarikan adat tradisi
yang telah dilaksanakan
sejak dahulu oleh para leluhur . Salah satu contohnya adalah melestarikan
rangkaian upacara pawiwahan agung seperti yang dilakukan oleh pihak Keraton
Yogyakarta.
Memang rangkaian
prosesi pernikahan tidak mutlak harus dilakukan seperti dalam pawiwahan agung
ini. Akan tetapi, ketika kita masih bisa dan mampu untuk melakukan tradisi
seperti ini tentu akan lebih baik. Karena
dengan
melakukan acara yang telah menjadi tradisi leluhur seperti itu berarti kita juga turut ikut berperan serta
dalam menjaga budaya warisan leluhur kita sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Web resmi dari kraton http://kratonwedding.com
Komentar
Posting Komentar