KAJIAN ETIKA JAWA KEJUJURAN DALAM
SERAT CENTHINI
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Tugas
Individu Mata Kuliah Etika Jawa
Disusun
Oleh :
Galih
Imam Bazhari
NIM.
12205241039
JURUSAN PENDIDIKAN
BAHASA DAERAH
FAKULTAS
BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS
NEGERI YOGYAKARTA
2013
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan
manusia. Etika memberi
manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan
sehari-hari. Itu berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan
bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu
kita untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan dan
yang perlu kita pahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala
aspek atau sisi kehidupan kita, dengan demikian etika ini dapat dibagi menjadi
beberapa bagian sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan manusianya.
Dalam kaitannya dengan budaya masyarakat jawa sangat kental
dengan etika, pada dasarnya pengertian etika apabila diartikan intinya
sama saja yaitu hal yang berkaitan dengan perilaku baik dan benar dalam
kehidupan manusia. Etika
merupakan dasar yang penting didalam pergaulan serta menjadi landasan penting
bagi sebuah peradaban misalnya dalam masyarakat jawa yang akan menjadi kesan
mendalam dan terpatri terus di benak sseorang individu ataupun masyarakat.
Etika bukan hanya sekedar penampilan fisik, tetapi masih banyak faktor lain
yang dapat mendukung seseorang untuk menampilkan sosoknya yang memiliki etika
yang tinggi.
Ada perbedaan didalam etika setiap pergaulan, seperti etika
di rumah akan pasti berbeda dengan etika dengan para pedagang kaki lima, serta
berbeda pula dengan etika di kantor dan lainnya, tetapi dalam makalah ini saya
akan membahas etika yang ada di dalam masyarakat jawa.
B.
Rumusan Masalah
a. Apa itu etika?
b. Bagaimana Etika Jawa kejujuran dalam
serat centhini?
C.
Tujuan
penulisan makalah
a. Untuk
memenuhi tugas mata kuliah Etika Jawa
b. Memaparkan
mengenai Etika Jawa secara lebih jelas
c. Menambah
wawasan mengenai Etika Jawa
D.
Manfaat
a. Menambah
pengetahuan kepada pembaca mengenai Etika Jawa
b. Sebagai
sumber referensi
c. Menambah
wawasan bagi para pembaca
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Etika
Etika
adalah suatu ajaran yang berbicara tentang baik dan buruknya yang menjadi
ukuran baik buruknya atau dengan istilah lain ajaran tenatang kebaikan dan
keburukan, yang menyangkut peri kehidupan manusia dalam hubungannya dengan
Tuhan, sesama manusia, dan alam.
Dari segi
etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam kamus umum
bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang azaz-azaz akhlak (moral).
Dari pengertian kebahasaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya
menentukan tingkah laku manusia.
Adapun
arti etika dari segi istilah, telah dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang
berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya.
Menurut Franz Magnis-Suseno
kata “etika” dalam arti yang sebenarnya berarti “Filsafat mengenai bidang
moral”. Jadi etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik mengenai
pendapat-pendapat, norma-norma, dan istilah-istilah moral.
Namun kata etika dalam arti yang lebih luas yaitu sebagai
“keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang
bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan
kehidupannya”. Jadi dimana mereka menemukan jawaban atas pertanyaan: bagaimana
saya harus membawa diri, sikap-sikap, dan tindakan-tindakan mana yang harus
saya kembangkan agar hidup saya sebagai manusia berhasil?
Menurut K. Bertens istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata
Yunani ethos dalam bentuk tunggal
mempunyai banyak arti: Tempat tinggal yang biasa, padag rumput, kandang,
kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah: adat kebiasaan.
Dan arti terakhir inilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah
“etika” yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (384-322 s.M.) sudah dipakai
untuk menunjukan filsafat moral. Jadi jika kita membatasi diri dari asal-usul
kata ini, maka “etika” berarti: Ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu
tentang adat kebiasaan.
Menurut
para ulama’ etika adalah ilmu yang
menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh
manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan
mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.
Dimana ada
etika pasti juga ada moral, arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa
latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan. Di
dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatan bahwa moral adalah pennetuan baik
buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.
Selanjutnya
moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan
batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara
layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk.
Berdasarkan
kutipan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang
digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai
(ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah.
Jika
pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu dengan lainnya, kita dapat
mengetakan bahwa antara etika dan moral memiki objek yang sama, yaitu sama-sama
membahas tentang perbuatan manusia selanjutnya ditentukan posisinya apakah baik
atau buruk.
Namun
demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama,
kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik
atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan moral
tolak ukurnya yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan
berlangsung di masyarakat. Dengan demikian etika lebih bersifat pemikiran
filosofis dan berada dalam konsep-konsep, sedangkan etika berada dalam dataran
realitas dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang di masyarakat. Dengan
demikian tolak ukur yang digunakan dalam moral untuk mengukur tingkah laku
manusia adalah adat istiadat, kebiasaan dan lainnya yang berlaku di masyarakat.
Dimana terdapat etika, tentu
juga terdapat peraturan-peraturan, dan hanya orang yang mengetahuinya bias
memenuhi tuntutan-tuntutannya. Yang khusus dalam etika Jawa ialah eksklusivitas
yang dimiliki oleh unsur pengertian di dalamnya. Bukan hanya bahwa kelakuan
yang betul mengandalkan pengetahuan tentang norma-norma moral, melainkan
pengertian yang betul sudah menjamin tindakan yang betul juga. Siapa yang
mengikuti hawa napsunya atau hanya mengejar kepentingan egoisnya sendiri,
berbuat demikian bukan karena ia tidak mau, melainkan karena ia belum mencapai
pengetahuan yang betul. Perlu diketahui terdapat beberapa sikap kepribadian
moral yang kuat antara lain kejujuran, bertanggung jawab, kemandirian moral,
keberanian moral, kerendahan hati dll.
Salah satu yang penting
adalah kejujuran, dasar setiap usaha bagi orang kuat secara moral adalah
kejujuran. Tanpa kejujuran kita manusia tidak dapat maju selangkahpun karena
kita belum berani menjadi diri kita sendiri. Tidak jujur berarti tidak
seia-sekata dan itu berarti bahwa kita belum sanggup untuk mengambil sikap yang
lurus.
Tanpa kejujuran
keutamaan-keutamaan moral lainnya kehilangan nilai mereka. Bersikap baik
terhadap orang lain, tetapi tanpa kejujuran, adalah kemunafikan dan sering
beracun. Begitu pula sifat-sifat terpuji seperti sepi-ing-pamrihdan
rame-ing-gawe menjadi sarana kelicikan dan penipuan apabila tidak berakar dalam
kejujuran yang bening.
Bersikap jujur terhadap orang
lain berarti dua: pertama, sikap terbuka, kedua sikap fair. Dengan terbuka tidak dimaksud bahwa segala pertanyaan orang
lain harus kita jawab dengan selengkapanya, atau bahwa orang lain berhak untuk
mengetahui segala perasaan dan pikiran kita. Tetapi kita melakukannya bukan
sekedar untuk menyesuaikan diri, karena takut atau malu, melainkan sebagai diri
kita sendiri. Kedua, terhadap orang lain orang jujur bersikap wajar atau fair. Ia menghormati hak orang lain, dan
memenuhi janji yang diberikan.
B.
Etika Jawa Kejujuran Dalam Serat Centhini
Seh Amongraga dalam Serat
Centhini, digambarkan sebagai orang yang jujur. Salah satunya yaitu Seh
Amongraga juga bersikap sesuai dengan suara hati dan keyakinannya. Seh
Amongraga berkeyakinan bahwa loro bloyo adalah
berhala yang menghalangi ilmu, serta bertentangan dengan ajaran agama. Oleh
karena itu di depan mertuanya, Seh Amongraga tidak berpura-pura. Ia tetap
menegur mertuanya untuk menyingkirkan loro
bloyo tersebut. Namun teguran Seh Amongraga disampaikan dengan cara yang
halus, sopan, dan tetap menghargai mertuanya. Seh Amongraga berbuat ini karena
hati nuraninya terdorong untuk menyampaikan suatu kebenaran. Berikut ini data
VI.359: 69-72, yaitu:
Wus
sumaoes leladen dhahar neng ngayun, Seh Amonngraga matur aris, yen pareng
punika ibu, prayogi dipunbucal, lara
bloyo boten ilok.
Pan
brahala punika cegahing ngelmu, Malarsih mesem esmu jrih, inggih anak sang
abagus, saking piker kirang ngelmu, mung ilok-ilok kemawon.
Sigra
kinen ambucali sedaya wus, nulya ngling angancarani, suwawi wanting sang bagus,
sigra Tambangraras aglis, anuruhi mring raka lon.
Ki Seh
Amongraga lon matur mring ibu, punika ibu manawi, utami sadayanipun, sami
akembulan bukti, kerana Allah kemawon.
Bentuk sikap jujur yang lain
adalah benar dalam berjanji. Seh Among raga juga jujur dan terus terang
mengatakan pada istrinya bahwa dia akan meninggalkan istrinya untuk sementara
waktu. Seh Amongraga bermaksud mencari adik-adiknya yang hilang entah kemana.
Seh Amongraga berjanji untuk kembali lagi menemui istrinya, jika adiknya sudah
berhasil ditemukan. Berikut ini kutipan data VII.384: 96-98, yaitu:
Bokmanawa
na nugraheng Widi, mring sira masingong, pupusen ing driyanira niken,
kapindhone sun arep ngulati, ring arimu kalih, jalwestri kawlas hyun.
Tan wruh
lamun manggih pati urip, anandhang rerempon, rebut urip saparan-parane, pisah
lan manira kawlas asih, baya datan lami, nggen ingsun angluruh.
Niken
Tambangraras tan bias ngling, mingsen-mingsen alon, marawayang drawayeng
pipine, lumuntur lir turasan waspeki, kang raka ngarihi, sarwi ngusapi luh.
Seh Amongraga juga bersikap
jujur dan ksatria mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya ketika dihukum
mati di Kanigara, Gunung Kidul, seperti dinyatakan dalam data X. 634: 23-26,
yaitu:
Aneng
Kanigara dhusun, dadya gununganing janmi, geng luhur ing masjidira, kebak
ingkang para santri, nanging tan tulus santrinya, sarengate bosah-basih.
Tanpa
tata salatipun, saking kayungyun ningali, kaelokan sukanira, pakrtine Jamal
Jamil, akarya pangeram-eram, dadya pangunguning janmi.
Atilar
salating waktu, sagunging wong tanpa budi, kadya ginendam ing kemat, bilulungan
saben ari, jalu kalawan wanita, tanpa tata laki rabi.
Lir sato
pipindhanipun, mangkana Ki Jamal Jamil, inguja sasolahira, dene ri sang
Amongragi, langung manungku ing puja, tawakup marang Hyng Widdhi.
Data tersebut menunjukan
bahwa Seh Amongraga telah berbuat kesalahan, yaitu terlalu khusyuk bertapa,
tawakup kepada Tuhan tanpa menghiraukan apa yang dilakukan santrinya
Jamal-Jamil. Jamal dan Jamil telah berbuat kekacauan dengan mempraktekan ilmu
sihir dan masyarakat seperti terkena ilmu gendam. Mereka tidak lagi menjalankan
perintah agama, bahkan hidup seperti binatang. Berita ini terdengar oleh raja,
sehingga raja mengirimkan utusan untuk menangkap Seh Amongraga. Seh Amongraga
menyadari akan kesalahannya dan dengan jujur mengakui bahwa semua yang terjadi
sebagai akibat kesalahan Seh Amongraga, seperti dinyatakan dalam data X. 635:
51 berikut ini:
Amongraga
amangsuli, dhuh Kyai sampun sadeya, sampun kandhadha ing mangke, kathahing
dosa-manira, anandhang kang pidana, kawengku adiling ratu, dadya kamulyaning
suksma.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Sebagai warga negara yang
baik, kita bersama-sama mempelajari salah satu ilmu pengetahuan yaitu ilmu
tentang etika dengan memanfaatkan sosial budaya, sejarah, sumber daya alam, dsb.
Dengan landasan kejawennya, salah satunya etika jawa tentang kejujuran.
Sehingga kita dapat bersama-sama memandang diri serta lingkungan yang ada
dengan berbagai ilmu, dan unsur yang telah ada. Yang juga akan menghasilkan
implementasi di berbagai bidang kehidupan.
B.
Saran
Untuk para pembaca semoga dengan
ini kita bisa memperoleh manfaat tentang etika jawa kejujuran. Untuk masyarakat
Indonesia semoga lebih baik lagi dalam mempelajari berbagai macam ilmu
pengetahuan khusunya etika kejujuran, sehingga mencapai tujuan yang diharapkan
tanpa ada kecurangan maupun banyak penyimpangan yang menyertainya.
DAFTAR
PUSTAKA
Magnis Suseno, Franz. 1988. Etika Jawa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Magnis Suseno, Franz. 1987. Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius.
Bertens, K., 2002. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Wibawa Sutrisna. 2013. Filsafat Moral Jawa Seh Amongraga Dalam
Serat Centhini. Yogyakarta : UNY Press.
Komentar
Posting Komentar