FILSAFAT ABAD PERTENGAHAN
Disusun Oleh :
Retno Wulandari
Muhammad Anjar Syafi’i
Yoni Noviana
Clara Shinta Anindita A
Galih Imam Bazhari
Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa
Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah
Fakultas Bahasa Dan Seni
Universitasnegeri Yogyakarta
2014
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar
Belakang
Filsafat
barat Abad Pertengahan (479-1492 M) juga dapat dikatakan sebagai “Abad Gelap”,
karena pendapat ini didasarkan pada pendekatan sejarah gereja. Memang saat itu,
tindakan gereja sangat membelenggu kehidupan manusia. Para ahli fikir saat itu
tidak lagi memiliki kebebasan untuk berfikir. Apabila terdapat
pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan ajaran gereja orang yang
mengemukakannya akan mendapatkan hukuman berat. Pihak gereja melarang
diadakannya penyelidikan berdasarkan rasio terhadap agama.
Karena itu,
kajian terhadap agama/teologi yang tidak berdasarkan larangan yang ketat. Yang
berhak melaksanakan penyelidikan terhadap agama hanyalah pihak gereja. Walaupun
demikian, ada juga yang melanggar larangan tersebut dan mereka dianggap orang
murtad dan kemudian diadakan pengejaran (inkuisisi). Pengejaran terhadap
orang-orang murtad ini mencapai puncaknya pada saat Paus Innocentius III di
akhir XII, dan yang paling berhasil dalam pengajaran orang-orang murtad ini di
Spanyol.
Masa abad
pertengahan in juga dapat dikatakan sebagai suatu masa yang penuh dengan upaya
menggiring manusia kedalam kehidupan atau sistem kepercayaan yang fanatik,
dengan menerima ajaran gereja secara membabi buta. Karena itu perkembangan ilmu
pengatahuan terhambat.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana sejarah Filsafat Abad Pertengahan ?
2. Bagaimana sejarah Periode Filsafat Skolastik Islam
(Arab) ?
3. Bagaimana sejarah Periode Filsafat Skolastik Kristen
?
4. Bagaimana sejarah Skolastik Thomas Aquinas
(1225-1274) ?
- Tujuan
Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah Filsafat Abad
Pertengahan.
2. Untuk mengetahui bagaimana sejarah Periode Filsafat
Skolastik Islam (Arab).
3. Untuk mengetahui bagaimana Periode Filsafat
Skolastik Kristen.
4. Untuk mengetahui bagaimana sejarah Skolastik Thomas
Aquinas (1225-1274).
- Manfaat
Penulisan
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Jawa
semester IV
2. Sebagai bahan referensi para pembaca dalam bidang
filsafat, khususnya filsafat abad pertengahan
BAB II
PEMBAHASAN
- Filsafat
Abad Pertengahan
Filsafat abad pertengahan lazim disebut filsafat skolastik. Kata tersebut
berasal dari kata schuler yang memiliki arti “ajaran” atau “sekolahan”.
Pasalnya, sekolah yang diselenggarakan oleh Karel Agung mengajarkan apa yang
diistilahkannya sebagai artes liberales,
meliputi mata pelajaran gramatika, geometria, arithmatika, astronomia, musika,
dan dialektika. Dialektika sekarang ini disebut dengan logika dan kata
skolastik menjadi istilah bagi filsafat abad 9-15 yang mempunyai corak khusus
yaitu filsafat yang dipengaruhi agama.
Secara historis, khazanah pemikiran
filsafat Yunani pernah mencapai kejayaan dan hasil yang gemilang dengan melahirkan
peradaban Yunani. Menurut perkembangan sejarah pemikiran manusia, peradaban
Yunani merupakan titik tolak peradaban manusia di dunia. Peradaban Yunani terus
menyebar ke berbagai bangsa, di antaranya ialah bangsa Romawi. Romawi merupakan
kerajaan terbesar di daratan Eropa pada waktu itu. Setelah filsafat Yunani
sampai ke daratan Eropa, di sana mendapatkan lahan baru dalam pertumbuhannya. Karena
bersamaan dengan nama Kristen, sehingga membentuk suatu formulasi baru. Maka
muncullah filsafat Eropa yang sesungguhnya penjelmaan filsafat Yunani setelah
berintegrasi dengan agama Kristen.
Telah dibahas di bab sebelumnya, bahwa
pada masa pertumbuhan dan pekembangan filsafat Eropa sekitar kira-kira abad 5
belum memunculkan ahli pikir (filsuf). Tetappi, setelah abad ke-6 Masehi,
barulah mucul para filsuf yang
mengadakan penyelidikan fislafat. Jadi filsafat Eropa yang mengawali kelahiran
filsafat Barat abad pertengahan. Muncul anggapan bahwa filsafat Yunani dan
agama Kristen saling berkaitan, padahal agama Kristen dapat diakatakan relatif
masih baru keberadaannya.
Anggapan pertama, bahwa Tuhan turun ke
bumi (dunia) dengan membawa kabar baik bagi umat manusia. Kabar baik tersebut berupa
firman Tuhan yang dianggap sebagai sumber kebijaksanaan yang sempurna dan
sejati. Anggapan kedua, walaupun orang-orang telah mengenal agama baru, tetapi
ia juga sudah mengenal fisafat Yunani yang dianggap sebagai sumber
kebijaksanaan yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Dengan demikian, di benua
Eropa filsafat Yunani akan tumbuh dan berkembang dalam suasana yang lain.
Filsafat Eropa merupakan sesuatu yang baru, suatu formulasi baru, pohon
filsafat masih yang lama (dari Yunani), tetapi tunas yang baru (karena pengaruh
agama Kristen) memungkinkan perkembangan dana pertumbuhan yang rindang.
Filsafat Barat Abad Pertengahan
(476-1492 M) juga dapat dikatakan sebagai abad gelap. Berdasarkan pada
pendekatan sejarah gereja, saat itu tindakan gereja sangat membelenggu
kehidupan manusia. Manusia tidak lagi memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensi
yang terdapat dalam dirinya. Para filsuf juga tidak memiliki kebebasan
berpikir.
Untuk mengetahui corak pemikiran
filsafat abad pertengahan, perlu dipahami karakteristik dan ciri khas pemikiran
filsafatnya. Beberapa karakteristik yang perlu dimengerti adalah :
1)
Cara
berfilsafatnya dipimpin oleh gereja.
2)
Berfilsafat di
dalam lingkungan ajaran Aristoteles.
3)
Berfilsafat
dengan pertolongan Augustinus.
Abad pertengahan ini juga dapat
dikatakan sebagai suatu masa yang penuh dengan upaya menggiring manusia ke
dalam kehidupan / sistem kepercayaan yang picik dan fanatik, dengan menerima
ajaran gereja secara membabi buta. Karena itulah perkembangan ilmu pengetahuan
terhambat. Masa ini penuh dengan dominasi gereja, yang tujuannya untuk
membimbing umat ke arah hidup yang saleh. Tetapi di sisi lain, dominasiu gereja
ini tanpa dibarengi dengan memikirkan martabat dan kebebasan manusia yang
mempunyai perasaan, pikiran, keinginan, dan cita-cita untuk menentukan masa
depannya sendiri.
Secara garis besar filsafat abad pertengahan
ini dibagi menjadi dua periode, yaitu Periode Skolastik Islam dan Periode
Skolastik Kristen.
- Sejarah
Periode Filsafat Skolastik Islam (Arab).
Kendati
Islam sudah dikenal oleh dunia sejak awal abad VII M, namun filsafat di
kalangan kaum muslim baru dimulai pada awal abad ke VIII. Ini disebabkan karena
pada abad pertama perkembangan Islam tidak terdapat isme-isme atau paham-paham
selain wahyu. Di kalangan kaum Muslim filsafat dianggap berkembang dengan baik
mulai abad IX M hingga abad XII M. Keberadaan filsafat pada masa ini juga
menandai masa kegemilangan dunia Islam, yaitu selama masa Daulah Bani Abbasiyah
di Bagdad (750-1258) dan Daulah Amawiyah di Spanyol (755-792).
Menurut
Hasbullah Bakry, istilah skolastik Islam jarang dipakai dalam khasanah pemikiran
Islam. Istilah yang sering dipakai adalah ilmu kalam atau filsafat
Islam. Kedua ilmu tersebut dalam pembahasannya dipisahkan. Periode
skolastik Islam dapat dibagi dalam empat masa, yaitu :
A.
Periode Kalam Pertama
Periode
ini ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok mutakallimin/aliran-aliran
dalam ilmu kalam, diantaranya :
a.
Khawarij
b.
Murjiah
c.
Qadariyah
d.
Jabariyah
e.
Mu’tazilah
f.
Ahli Sunah
Dalam
kaitanya dengan filsafat, aliran yang paling menonjol adalah Mu’tazilah yang
dimotori oleh Wasil bin Atha dan dianggap sebagai rasionalisme Islam.
Timbulnya aliran ini antara lain sebagai jawaban atas tantangan-tantangan yang
timbul berupa paham-paham mengenai masalah Tuhan dan hubungan manusia dengan
Tuhan, yaitu paham tasybih (anthropomorphisme), jabariyah
(determinisme), dan khawarij (paham teokratik). Mu’tazilah memberi
jawaban dengan konsep-konsep sebagai berikut :
a.
Keesaan Tuhan (al-tauhid)
b.
Kebebasan Kehendak
(al-iradah)
c.
Keadilan Tuhan (al-‘adalah)
d.
Posisi Tengan (al-manzilah
bain al-manzilatain)
e.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
(al-amr bi al-ma’ruf wa al nahy’an al-munkar)
B.
Periode
Filsafat Pertama
Periode
ini ditandai dengan munculnya ilmuwan dan ahli-ahli dalam berbagai bidang yang
menaruh perhatian terhadap filsafat Yunani, terutama filsafat Aristoteles.
Periode
filsafat Islam pertama adalah periode munculnya filsuf-filsuf Muslim di wilayah
Timur, masing-masing adalah :
a.
Al-Kindi (806-873
M)
b.
Al-Razi (865-925 M)
c.
Al-Farabi (870-950
M)
d.
Ibnu Sina (980-1037
M)
C.
Periode Kalam Kedua
Periode
ini ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh kalam penting dan besar pengaruhnya terhadap perkembangan ilmu kalam
berikutnya, mereka antara lain :
a.
Al-Asy’ari (873-957 M)
Semula
ia adalah penganut Mu’tazilah, tetapi karena tidak puas dengan
keterangan-keterangan gurunya, Al-Juba’i akhirnya ia keluar dari Mu’tazilah.
Aliran dan pahamnya kemudian disebut Asy’ariyah. Disamping Asy’ariyah juga
Al-Matudiri.
b.
Al-Ghazali (1065-1111 M)
Ia
adalah sosok muslim yang berpengaruh besar terhadap dunia Islam. Ia bergelar
“Hujjatul Islam” (benteng Islam). Semula ia adalah seorang mutakallimin, namun
karena kemudian ia tidak menemukan kepuasan dengan metode-metode pemikiran
kalam, ia beralih ke lapangan filsafat. Namun di filsafat ia juga tidak
menemukan kepuasan dan akhirnya beralih ke lapangan tasawuf. Di bidang terakhir
inilah ia menemukan sesuatu yag dicarinya. Sikapnya terhadap filsafat dan
filsuf tercermin dalam bukunya Tahafut al-Falasifah (Kerancuan para Filsuf).
D.
Periode Filsafat Kedua
Periode ini ditandai
dengan tampilnya sarjana-sarjana dan ahli-ahli dalam berbagai bidang yang juga
meminati filsafat. Mereka hidup dalam masa Daulah Amawiyah di Spanyol (Eropa)
pada saat Eropa sedang dalam masa kegelapan. Dengan tampilnya para filsuf
muslim di Eropa ini, ilmu dan peradaban tumbuh berkembang dan terus meningkat.
Mereka adalah :
a.
Ibnu Bajjah
(1100-1138 M), di Barat dikenal dengan sebutan Avempace.
b.
Ibnu Thufail (m.
1185 M), di Barat dikenal dengan sebutan Abubacer.
c.
Ibnu Rusyd
(1126-1198 M), di Barat dikenal dengan sebutan Averrose.
Perlu
dicatat disini bahwa pada masa Ibnu Rusyd menunjukkan sikap pembelaannya
terhadap filsafat dan para filsuf atas serangan-serangan Al-Ghazali. Ia
berusaha meng-counter pendapat Al-Ghazali dalam buku Tahafut
al-Falasifah dengan bukunya yang berjudul Tahafut al-Tahafut
(Kerancuan kitab Tahafut).
Sampai
pertengahan abad XII orang-orang Barat belum mengenal filsafat Aristoteles
secara keseluruhan. Skolastik Islamlah yang membawakan perkembangan filsafat di
Barat. Berkat tulisan para ahli fikir Islam, terutama Ibnu Rusyd, orang-orang
Barat itu mengenal Aristoteles. Para ahli fikir Islam (periode skolastik Islam)
ini adalah Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Rusyd dan lainnya.
Peran mereka sangat besar, tidak dalam pemikiran filsafat saja tetapi juga
memberikan sumbangan yang tidak kecil bagi Eropa dalam bidang ilmu pengetahuan.
Para ahli fikir Islam sebagian menganggap bahwa filsafat Aristoteles adalah
benar, Plato dan Al-Qur’an adalah benar, mereka mengadakan perpaduan dan
sinkretisme antara agama dan filsafat. Banyak buku filsafat dan sejenisnya
mengenai peranan para ahli fikir Islam atas kemajuan dan peradaban Barat yang
sengaja disembunyikan disebabkan mereka (Barat) tidak mengakui secara terus
terang jasa para ahli fikir Islam dalam mengantarkan kemodernan Barat.
E.
Periode Kebangkitan
Periode
ini dimulai dengan adanya kesadaran dan kebangkitan kembali dunia Islam setelah
mengalami kemerosotan alam fikir sejak abad XV sampai XIX. Oleh karenanya,
periode ini disebut juga sebagai Renaissans Islam. Diantara tokoh yang
berpengaruh di periode ini adalah Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid
Ridha, Muhammad Iqbal, dan masih banyak lagi.
- Periode Filsafat
Skolastik Kristen
Dalam
sejarah perkembangannya Periode Skolastik Kristen dapat dibagi menjadi tiga,
yaitu masa skolastik awal, masa skolastik keemasan, serta masa skolastik akhir.
1. Masa
Skolastik Awal (Abad 9-12 M)
Masa
kebangkitan pemikiran abad pertengahan dimulai pada masa ini setelah terjadi
kemerosotan yang terjadi akibat kuatnya dominasi golongan gereja. Pada mulanya
skolastik muncul pertama kali di Biara Italia Selatan dan akhirnya berpengaruh
ke daerah-daerah lain. pada sekolah-sekolah sat itu diterapkan ajaran yang
meliputi studi duniawi atau arts
liberales yang meliputi tata bahasa, retorika, dialektika, (seni diskusi),
ilmu hitung, ilmu ukur, ilmu perbintangan, serta musik.
Menurut
Anselmus (1033-1109M), rasio dapat dihubungkan atau digunakan untuk hal-hal
yang berkaitan dengan keagamaan. Hubungan antara rasio dengan agama
dirumuskannya dengan “Credo Ut In
Telligam” (saya percaya supaya mengerti). Maksudnya adalah orang yang
memiliki kepercayaan agama akan lebih mengerti tentang segala sesuatunya :
Tuhan, manusia, serta dunia. Jadi baginya agama yang diutamakan dalam
filsafatnya, tapi tidak mengingkari kemampuan rasio. Selanjutnya mengenai universalia. Universalia adalah
pengertian umum seperti kemanusiaan, kebaikan, keindahan, dan sebagainya. Yang
dipersoalkan adalah universalia itu terdapat pada hal sendiri ataukah hanya
sekadar nama buatan pikiran belaka yang tidak riil pada barang atau bendanya?
Terhadap persoalan tersebut, ada tiga
pendapat:
a. Ultra-realisme.
Menurut pendapat ini universalia adalah perkara-perkara atau esensi yang
benar-benar ada, lepas dari penggambaran dalam pikiran. Universalia mempunyai
nilai objektif lepas dari subjek yang menggambarkannya. Misalnya: kemanusiaan
memang sesuatu yang riil. Manusia individual hanya merupakan kasus spesifik
dari yang umum itu. Tokoh terkenal yang menganut realisme adalah Gulielmus dan
Campeaux (1007-1120M)
b. Nominalisme.
Nominalisme berpendapat bahwa universalia hanyalah nama atau bunyi saja (flatus voice) dan tidak ada dalam
realitas. Jadi, universalia tidak mempunyai nilai objektif pada bendanya tetapi
hanyalah merupakan penggambaran dalam pikiran manusia. Tokoh yang terkenal
adalah Rossoellinus dari Compiege (1050-1120).
c. Moderato
Realisme. Menyatakan bahwa universalia yang nyata tidak ada pada dirinya
sendiri. Yang ada hanyalah ide tentang universalia yang ada pada pikiran
manusia. Gambaran atau ide ini pada dasarnya objektif, artinya diluar pikiran,
yaitu pada kemiripan yang nyata dari satuan-satuan suatu golongan. Tokoh-tokoh
aliran ini adalah Thomas Aquinas dan Petrus Abaelardus (1079-1180M). Berbeda
dengan pemikiran Anselmus yang mengatakan bahwa berpikir harus sejalan dengan
iman, Abaelardus memnerikan alasan bahwa berpikir itu berada di luar iman (di
luar kepercayaan). Hal ini sesuai dengan metoda dialektika yang tanpa ragu-ragu
ditunjukkan dalam teologi, yaitu bahwa teologi harus memberikan tempat bagi
semua bukti-bukti. Dalam teologi iman hampir kehilangan tempat. Seperti dalam
ajaran Trinitas yang berdasar bukti-bukti, termasuk bukti dalam wahu Tuhan.
2. Masa
Skolastik Keemasan
Pada
masa skolastik awal, filsafat bertumpu pada alam pikiran dan karya-karya
Kristiani. Akan tetapi sejak pertengahan 12 karya-karya non-Kristiani mulai
muncul dan filsuf Islam mulai berpengaruh. Masa ini merupakan masa kejayaan
skolastik yang berlangsung dari tahun 1200-1300 M. Masa ini juga disebut masa
berbunga disebabkan bersamaan dengan munculnya beberapa universitas dan
ordo-ordo yang menyelenggarakan pendidikan ilmu pengetahuan.
Secara
umum ada beberapa faktor yang menjadikan masa skolastik mencapai masa keemasan,
yaitu:
a. Adanya
pengaruh dari Aristoteles, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina sejak abad 12-13 telah tumbuh
menjadi ilmu pengetahuan yang luas.
b. Tahun
1200 M didirikan Universitas Almamater di Prancis. Universitas ini merupakan gabungan dari
beberapa sekolah juga sebagai embrio berdirinya universitas di Paris, Oxford,
Montpellier, Cambridge, dll.
c. Berdirinya
ordo-ordo karena banyaknya perhatian orang terhadap ilmu pengetahuan sehingga
menimbulkan dorongan yang kuat untuk memberikan suasana yang semarak pada abad
ke-13. Hal ini akan berpengaruh terhadap kehidupan keruhanian saat kebanyakan
tokoh-tokohnya memegang peranan di bidang filsafat dan teologi, seperti
Albertus de Grote, Thomas Aquinas, Binaventura, J.D. Scotus, William Ocham.
Pada
mulanya hanya filsuf yang membawa dan meneruskan ajaran Aristoteles. Namun,
upaya ini kemudian mendapat perlawanan dari Augustinus disebabkan adanya
anggapan bahwa ajaran Aristoteles yang mulai dikenal pada abad ke-12 telah
diolah dan tercemar filsuf Arab (Islam) yang membahayakan ajaran Kristen.
Untuk
menghindari pencemaran tersebut, Albertus Magnus dan Thomas Aquinas sengaja
menghilangkan unsur-unsur dari Ibnu Rusyd dengan menerjemahkan langsung dari
bahasa Latinnya. Bagian ajaran Aristoteles yang bertentangan dengan ajaran
Kristen juga diganti dengan teori-teori baru yang bersumber pada ajaran
Aristoteles dan diselaraskan dengan ajaran ilmiah. Upaya ini sangat berhasil
ditandai dengan terbitnya buku Summa
Theologiae sekaligus membuktikan bahwa ajaran Aristoteles telah mendapatkan
kemenangan dan sangat berpengaruh terhadap perkembangan skolastik. Tokoh yang
paling terkenal pada masa ini adalah Albertus Magnus dan Thomas Aquinas.
3. Masa
Skolastik Akhir
Masa
ini ditandai dengan kemalasan berpikir filsafati sehingga menyebabkan stagnasi
pemikiran filsafat skolastik Kristen. Meskipun demikian, masih muncul tokoh
yang terkenal pada masa itu, yaitu Nicolaus Cusanus (1401-1404M). Dari
pemikiran filsafatnya ia membedakan tiga macam pengenalan yang kurang sempurna.
Rasio
membentuk konsep-konsep atas dasar pengenalan indrawi dan aktivitasnya sama
sekali dikuasai oleh prinsip-prinsip nonkontradiksi. Disamping pengenalan
rasional, masih ada pengenalan lain, yaitu intuisi. Dengan intuisi manusia
dapat mencapai yang tak terhingga, objek tertinggi filsafat, dimana tidak ada
hal-hal yang berlawanan. Intuisi tidak dapat diekspresikan dengan bahasa
rasional dan sebagai pengganti sebaiknya digunakan ibarat dan simbol.
Allah
adalah objek sentral bagi intuisi manusia, dalam diri Allah semua hal yang
berlawanan mencapai kesatuan. Allah melampaui semua perlawanan yang
dijumpaipada taraf keberadaan yang
berhingga. Semua makhluk berhingga berasal dari Allah Sang Pencipta dan
segalanya akan kembali pula kepada-Nya. Di sini filsafat Nicolaus bercorak
teologis yang memadai pemikiran filsafat abad pertengahan. Nicolaus Cusanus
dapat dipandang sebagai mata rantai yang menghubungkan abad pertengahan dan
abad modern.
Ia
adalah pemikir pengujung masa skolastik. Menurutnya terdapat tiga cara unatuk
mengenal, yaitu melalui: indra, akal, serta intuisi. Dengan akal kita kan
mendapatkan pengetahuan tentang benda-benda berjasad, yang sifatnya tidak
sempurna. Dengan akal kita mendapatkan bentuk-bentuk pengertian yang abstrak
berdasar pada sajian atau tangkapan indera. Dalam intuisi kita kan mendapatkan
pengetahuan yang lebih tinggi. Dengan intuisi kita kan mempersatukan apa yang
oleh akal tidak dapat dipersatukan.
Dengan
intuisi inilah diharapkan akan sampai pada kenyataan di mana segala sesuatu
menjadi larut, yakni Tuhan. Pemikiran Nicolaus ini dianggap sebagai upaya
mempersatukan seluruh pemikiran abad pertengahan ke suatu sintesis yang lebih
luas. Sintesis ini mengarah ke masa depan dan pemikirannya tersirat suatu
pemikiran yang humanis.
D.
Skolastik Thomas Aquinas (1225-1274)
Puncak
tradisi pemikiran skolastisisme adalah pada masa Thomas Aquinas. Ia adalah
seoarang pendeta dominikan Gereja Khatolik. Karya filsafatnya yang terpenting
adalah multivolume summa contra gentiles (sebuahrang kuman melawan orang
kafir), sedangkan summa theological (rangkumanteologi) menjadi karya
teologinya--yang disajikansecarasistematis—yang dipersembahkan bagi orang-orang
yang ingin menjadi biarawan dan pendeta.Karya tersebut menjadi rangkuman
definitive filsafat katolik.
Adapun
target ajaran summa contra gentile sadalah kecenderungan naturalistic yang
dilihatnya dengan jelas terdapat pada filsuf-filsuf Arab tertentu. Di sini,
Thomas Aquinas member beberapa premis kepada beberapa para naturalis sekaligus
ia bermaksud menunjukan bahwa iman Kristen didasarkan padaa kalbu dan hukuman
yang melekat pada alam bersifat raisional.
Sebagai
murid Albertus Agung, Thomas Aquinas berusaha mengikuti gurunya yang memadukan
dinamika pemikiran di Yunani, Arab, dan Yahudi dengan melakukan sintesis dan
mengambil manfaat dari banyak karya para pemikir sebelumnya, termasuk Ibnu Sina
dan Maimonides. Dengan karyanya ia ingin menunjukan bahwa akal budi dengan
filsafat adalah cocok bagi ajaran Kristen. Tidak ada pertentangan antara rasio,
akal budi dengan wahyu Tuhan.
Dalam
banyak hal Thonmas Aquinas lebih dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles
ketimbang Plato. Kareena begitu gandrungnya dengan pemikiran Aristoteles, ia
menganggap sang filsuf sebenarnya adalah Aristoteles. Karenanya, ia memberi tempat khusus atas pemikiran
Aristotelian dalam tradisi Kristen dengan memberi penghargaan yang relative
tinggi terhadap dunia alamiah dan pengetahuan manusia. Bahkan Thomas Aquinas
tidak hanya menyajikan dunia alamiahsebgaihal yang nyata dan dapat diketahui,
tetapi juga sebagai suatu refleksi hokum Tuhan.Metafisika bagi Thomas Aquinas
mengarah pada pengetahuan atas Tuhan. Akal budi harus digunakan untuk
memikirkan hakikat kehidupan dunia dan alam semesta. Dengan begitu, tidak salah
kalau Thomas Aquinas lebih dikenal sebagai pemikir empiris ketimbang idealis.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
A.
Secara garis
besar filsafat abad pertengahan ini dibagi menjadi dua periode, yaitu Periode
Skolastik Islam dan Periode Skolastik Kristen.
B.
Periode skolastik Islam dapat dibagi
dalam empat masa, yaitu :
1.
Periode Kalam Pertama
2.
Periode Filsafat Pertama
3.
Periode Kalam Kedua
4.
Periode Filsafat Kedua
5.
Periode Kebangkitan
C.
Periode Skolastik Kristen dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu :
1. Masa
skolastik awal
2. Masa
skolastik keemasan
3. Masa
skolastik akhir.
D.
Metafisika bagi Thomas Aquinas mengarah
pada pengetahuan atas Tuhan. Akal budi harus digunakan untuk memikirkan hakikat
kehidupan dunia dan alam semesta. Dengan begitu, tidak salah kalau Thomas
Aquinas lebih dikenal sebagai pemikir empiris ketimbang idealis.
DAFTAR
PUSTAKA
Bakhtiar,
Amsal. 2005. Filsafat Ilmu. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Kattsoff, Louis O., 1986. Pengantar Filsafat, terjemahan dari Elements of
Philosophy
oleh Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Maksum, Ali. 2012. Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga
Postmodernisme.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Suriasumantri, Jujun S. 1985. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta:
Sinar Harapan.
Komentar
Posting Komentar